makalah ekonomi menurut yahya bin umar


BAB I
A.    Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammmad Saw. Karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan masa kehidupan Rasulullah Saw. , pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjama muslim yang memeberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan sekaligus intelektual yang kuat serta -kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. Banyak di antaranya juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalan berbagai bidang. Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan.
Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Oleh karena itu salah satu hal yang mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman awal kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar?








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar (213-289 H)
1.          Biografi Yahya Bin Umar
Yahyabin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di kordova, Spanyol.[4] Seperti para cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya ia bersinggah di Mesir berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al- Qasim, setelah itu pergi ke Hijaj dan berguru, diantaranya yaitu berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.
Perkembangan selanjutnya ia menjadi pelajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ia terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hungga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).[5]
2.      Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas  dalam perekonomian islam, sekaligus factor utama yang membedaan Ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, disamping al-Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi  Muhammad SAW dalamm melakukan setiap aktivitas ekonominya.
Seperti yang telah disinggunmg, focus perhatianYahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapanharga). Penetapanharga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-ta’ir (penetapanharga) tidak boleh dilakukan . Ia berhujjah dengan dengan berbagai hadist Nabi Muhammad SAW, antar lain:
Dari Annas bin Malik, ia berkata: “telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rosululloh SAW. Mereka (para sahabat) berkata: ”wahai Rosululloh, tetapkanlah harga kami.” Rosululloh menjawab: “sesungguhnya Allahlah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dan persolan jiwa dan harta. “ (Riwayat Abu Daud)
Dari hadist diatas tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga(tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh manusia (human error). Pemerintah, sebagai institui formal memiliki tanggungjawab menciuptakan kesejahteraan umum, tidak melakukan intervensiharga ketika terjadi aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
a.       Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikanya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
b.      Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang ebrlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang dari pasar. Hal ini pernah dipraktikan Umar bin Khatab ketika seorang pedagang kismismenjual barang daganganya dibawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikan harga sesuai yang berlaku atau berbeda dengan pasar.
Pernyataan yahya bin Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwaa hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi daapat dilakukan jika kesejahteraan masyarakat umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang melarang praktik penetapan harga tersebut sekaligus menunjukkan yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supplay) dan permintaan (demand). Namun Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pwemerintah berhak melakukan intervensi ketika tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulakan kemudharatan  bagi masyrarakat, termasuk ikhtikar dan dumping. Dalam hal ini pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tersebut adalah berupa larangan melakukan aaktivitas di pasar, bukan berupa hubungan maliyah. Menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, pernytaan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Tentang ikhtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnyaa kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat pelanggaran penimbunan barang. Apabilahal tersebutterjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini ndisedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para pelaku ikhtikar agar tidak mengulang perbuatanya. Apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarannya.
Dengan demikian, dalam ksus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti ikhtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini berarti juga bahwa dalam ekoonomi islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakay yang dapat meningkatkan kesejaahteraan hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena. [6]

Komentar

Postingan Populer