Perpajakan

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sumber pendapatan negara terbesar di Indonesia adalah pajak. Menurut data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABN) tahun 2010, peranan Penerimaan Perpajakan sudah mencapai 80% dari Penerimaan Dalam negeri (Gusfahmi, 2011: 1). Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai pelaksanaan dan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan peran serta masyarakat. Namun masih banyak wajib pajak yang tidak mematuhi aturan yang sudah berlaku sehingga menghambat dalam berbagai bidang retribusi. Selain itu masih banyak ditemui pegawai pajak yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya yang juga menghambat dan merugikan negara.
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak bukan merupakan suatu pungutan, tetapi hanya pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam rangka memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan, dan sebagainya.
Untuk memperlancar jalannya perpajakan tersebut semua pihak harus saling berkontribusi agar tidak ada lagi kendala dalam hal perpajakan ini, karena dampaknya akan kembali pada kita sendiri. Baik itu dalam lingkup pajak negara (pusat) maupun pajak daerah.
Maka dari itu dalam makalah ini membahas mengenai sejarah perpajakan di Indonesia sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan, reformasi undang-undang perpajakan tahun 1984, dan penyempurnaan reformasi perpajakan. Selain itu dibahas pula mengenai tarif pajak, pajak negara (pusat) dan pajak daerah, tata cara pemungutan pajak, jenis pajak dan objek pajak daerah dan negara (pusat), dan retribusi daerah. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi salah satu nilai tugas mata kuliah perpajakan/hukum pajak.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah Perpajakan di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan Tarif Pajak?
3. Bagaimana Tata Cara Pemungutan Pajak?
4. Apa yang dimaksud dengan Pajak Negara (Pusat) dan Pajak Daerah?
5. Apa saja Jenis dan Objek Pajak Negara (Pusat) dan Daerah?
6. Apa saja Retribusi Pajak Daerah?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya:
1. Untuk Mengetahui Sejarah Perpajakan di Indonesia.
2. Untuk Mengetahui Mengenai Tarif Pajak.
3. Untuk Mengetahui Tata Cara Pemungutan Pajak.
4. Untuk Mengetahui Mengenai Pajak Negara (Pusat) dan Pajak Daerah.
5. Untuk Mengetahui Jenis dan Objek Pajak Negara (Pusat) dan Daerah.
6. Untuk Mengetahui Retribusi Daerah.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. SEJARAH  PERPAJAKAN DI INDONESIA
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk  mencapai kesejahteraan umum. Lembaga pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia (Kusnanto, 2019: 12). Hukum pajak adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban serta hubungan antara wajib pajak dan pemerintah selaku pemungut pajak.
Di Indonesia, pajak awalnya merupakan suatu upeti atau pemberian secara cuma-cuma oleh rakyat kepada raja atau penguasa. Namun, upeti ini hanya digunakan untuk kepentingan penguasa saja, tidak dikembalikan ke rakyat. Seiring dengan berjalannya waktu, upeti yang diberikan oleh rakyat tersebut tidak lagi digunakan untuk kepentingan satu pihak, tetapi mulai mengarah ke kepentingan rakyat itu sendiri.
Sejarah perpajakan di Indonesia dibagi dalam beberapa bagian, diantaranya ialah:
1. Sebelum Kemerdekaan
Sejarah perpajakan di wilayah Indonesia sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan. Pada masa itu bentuk pajak sangat dipengaruhi oleh kebijakan penguasa yang sedang memerintah, misalnya pada masa Daendels berkuasa bentuk dan jenis pajak berbeda pada masa Van den Bosch (Belanda) ataupun Raffles (Inggris). Pada masa Daendels bentuk dan jenis pajak yang disebut dengan Contingenten yaitu pajak atas hasil bumi. Pada masa Raffles dibentuk jenis pajak baru yang disebut landrent, dengan alasan pembenaran adalah bahwa tanah yang digarap petani adalah milik raja dalam bentuk pajak tanah. Dengan penggantian Gubernur Jenderal, masing-masing mempunyai cara-cara sendiri untuk mengumpulkan uang ke kas pemerintah jajahan. Pertengahan abad ke-20 dilakukan beberapa perubahan penting, yang waktu itu disebut dengan ‘era hukum’ (era of legality), di mana pajak-pajak umum dan pajak tanah diatur dalam Pasal 58 dan Pasal Regering Reglement (Ayza, 2017: 3).
2. Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dan disahkannya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, oleh karena Republik Indonesia yang baru berdiri, belum memiliki undang-undang tentang perpajakan, maka berlakulah Pasal II Aturan Peralihan yang mengatur bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Dengan demikian ordonansi perpajakan yang ada sebelum kemerdekaan masih tetap berlaku sebagai undang-undang perpajakan di Indonesia yang baru merdeka. Oleh karenanya pemungutan pajak awal kemerdekaan dilakukan berdasarkan peraturan pajak yang ada zaman kolonial yaitu peraturan perpajakan Pemerintah Hindia Belanda, yang menganut sistem official assessment, dan ketentuan pajak formil dan meteriil diatur dalam satu undang-undang, kecuali mengenai penagihan pajak dan peradilan pajak (Ayza, 2017: 3).
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berasal dari undang-undang (ordonantie) perpajakan zaman kolonial dalam Ayza (2017: 4) adalah:
a. Indische TariefWet 1873 (Stbl 1873/35);
b. Rechten Ordonnantie 1882 (Stbl 1882/240);
c. Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie van 1886 Stbl 1886/249);
d. Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie van 1898 Stbl 1898/90-92);
e. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Stbl 1908/13);
f. Tarief Ordonnantie 1910 (Stbl 1910/628);
g. Zegelverordening, Stbl 1921/498 (Aturan Bea Materai 1921);
h. Indlansche Verpondings 1923, Jawa-Madura (Stbl 1923/425);
i. Ordonansi Bea Balik Nama 1924 (Stbl 1924/291);
j. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Stbl 1925/319);
k. Ordonansi Verpondings 1928 (Stbl 1928/342);
l. Bieraccijns Ordonnantie 1931 (Stbl 1931/488 en 489);
m. Tabacsaccijn Ordonnantie 1932 (Stbl 1932/517);
n. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Stbl 1932/405);
o. Suikeraccijns Ordonnantie 1933 (Stbl 1933/351);
p. Ordonansi Pajak Upah 1934 (Stbl 1934/713);
q. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934 (Stbl 1934/718);
r. Ordonansi Pajak Potong 1936 (Stbl 1936/67);
s. Ordonansi Pajak Hasil Bumi tahun 1939 (Stbl 1939/240);
t. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Stbl 1942/97);
u. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (Stbl 1944/17);
v. Dan segala perubahan-perubahannya.
Dekade 1945-1960-an, mulailah ditetapkan undang-undang perpajakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia khususnya pajak-pajak daerah dalam Ayza (2017: 4) antara lain:
a. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;
c. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah;
d. Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
e. Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Selain itu dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953 ditetapkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (kemudian dikenal dengan Pajak Penjualan 1951). Pajak Penjualan 1951 merupakan pungutan pemerintah pusat atas penyerahan barang yang dilakukan oleh pabrikan di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaannya atau pekerjaannya (Ayza, 2017: 5).
Dekade 1960-1980-an, setidak-tidaknya terdapat tiga kebijakan perpajakan, Pertama: Pemungutan pajak dengan sistem official assessment telah mulai bergeser ke arah semi self assessment system. Dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 diatur tata cara pemungutan pajak baru (waktu itu) untuk Pajak Perseroan, Pajak Pendapatan dan Pajak Kekayaan yang terkenal dengan MPS-MPO. MPS adalah singkatan dari Menghitung Pajak Sendiri dan MPO adalah singkatan dari Menghitung Pajak Orang Lain. Dengan sistem MPS wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus dibayar sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, dan dengan sistem MPO di mana instansi pajak menunjuk orang atau badan lain untuk menghitung, memungut dan menyetorkan pajak orang lainnya sehubungan dengan transaksi tertentu. Sistem pemungutan MPS-MPO bukan merupakan suatu jenis pajak baru, melainkan merupakan tata cara pemungutan pajak dengan maksud mengadakan pemungutan yang intensif dan efektif, dan ketetapan pajak sementara tidak dilakukan lagi, walaupun ketentuan-ketentuan mengenai hal itu belum dihapuskan, sedangkan surat ketetapan pajak setiap akhir tahun yang disebut dengan surat ketetapan pajak rampung masih dilakukan. Pajak yang telah dibayar sendiri (MPS) dan yang dipungut oleh orang lain (MPO) diperhitungkan sebagai pengurang (kredit pajak) dalam surat ketetapan pajak rampung (Ayza, 2017: 5).
Kebijakan Kedua akhir 1960-an dan awal 1970-an untuk mengundang investor agar menanamkan modalnya di Indonesia. Kepada investor tersebut diberikan perangsang investasi yaitu keringanan perpajakan berupa fasilitas pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu (tax holiday) atau perangsang penanaman (investment allowance). Ketentuan tersebut diatur dalam (Ayza, 2017: 5-6):
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. UU No.1 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing;
b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 jo. UU No.12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty.
Kebijakan Ketiga (periode 1960-1980-an) adalah Penyerahan Pajak-Pajak Negara kepada Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 yaitu : (i) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, (ii) Pajak Bangsa Asing dan (iii) Pajak Radio (Ayza, 2017: 6).
3. Reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 1984
Sistem perpajakan merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak-pajak negara sampai dengan awal dekade 1980-an, dirasakan tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Sistem perpajakan yang tertuang di dalam ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku saat itu belum dapat menggerakan peran serta semua lapisan masyarakat subjek pajak yang besar peranannya dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional. Sesuai pula dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, perlu diadakan pembaruan sistem perpajakan dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan. Pembaruan dimaksud diperlukan untuk peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan, oleh karenanya perlu diadakan reformasi peraturan perundang-undangan perpajakan (Ayza, 2017: 6).
Reformasi perpajakan ditandai dengan terbitnya 3 (tiga) undang-undang perpajakan pada akhir tahun 1983 dalam Ayza (2017: 7-12) yaitu:
Pertama: disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP 1983) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984 dan mencabut ketentuan perundang-undangan sebelumnya yaitu:
a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Stbl 1925 No. 319) dan segala perubahannya;
b. Ordonansi Pajak Pendapatan, 1944 (Stbl 1944 No. 17) dan segala perubahannya;
c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang perubahan dan Penyempurnaan, Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925;
d. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak atas Bunga Dividen dan Royalti 1970;
Sesuai dengan amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, ditetapkanlah UU KUP 1983 dengan sistematika yang terdiri dari 11 (sebelas) Bab dan 50 Pasal yaitu:
Bab I Ketentuan Umum, pengertian-pengertian (Pasal I);
Bab II Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan dan Tata Cara Pembayaran (Pasal 2 sampai dengan Pasal 11);
Bab III Penetapan dan Ketetapan Pajak (Pasal 12 sampai dengan 17);
Bab IV Penagih pajak (Pasal 18 sampai dengan Pasal 24);
Bab V Keberatan dan Banding (Pasal 25sampai dengan Pasal 27);
Bab VI Pembukuan dan Pemeriksaan (Pasal 28 sampai dengan Pasal 31);
Bab VII Ketentuan Khusus (Pasal 32 sampai dengan Pasal 37);
Bab VIII Ketentuan Pidana (Pasal 38 sampai dengan Pasal 43);
Bab IX Penyidikan (Pasal 44)
Bab X Ketentuan Peralihan (Pasal 45 sampai dengan Pasal 47);
Bab XI Ketentuan Penutup (Pasal 48 sampai dengan Pasal 50);

Perubahan sistem dari official assessment  ke self assessment dapat diketahui dari Pasal 12 UU KUP 1983 bahwa “Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”. Maksudnya untuk membayar pajak tidak lagi berdasarkan surat ketetapan pajak seperti pada masa official assessment, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang bersangkutan.
Kedua: disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1983), mulai berlaku 1 Januari 1984.
Ketiga: disahkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPn BM 1983), dan mencabut Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak Penjualan 1951 dan segala perubahannya. UU PPN 1983 mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1985.
Keempat: disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB 1985). Dengan undang-undang ini mencabut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 dan segala perubahannya;
b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan segala perubahannya;
c. Ordonansi Verponding 1928 dan segala perubahannya;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan dan segala perubahannya;
e. Ordonansi Pajak Jalan 1942 dan segala perubahannya;
f. Pasal 14 huruf j, k dan l Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961;
g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1561;
Kelima: disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai, dan mencabut Aturan Bea Materai 1921 (Zegelver or dening 1921) dan segala perubahannya. Tahun 1990-an reformasi perpajakan dilanjutkan dengan terbitnya enam undang-undang perpajakan baru berikutnya yaitu:
Keenam: disahkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan 1995), dan dinyatakan tidak berlaku lagi:
a. Indische TariefWet Stbl. Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
b. Rechten Ordonnantie Stbl. Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
c. Tarief Ordonnantie Stbl. Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.
Ketujuh: disahkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai 1995), dan dinyatakan tidak berlaku lagi:
a. Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie van 27 Desember 1886 Stbl. 1886 No. 249 dan Ordonnantie van 11 Mei 1908 Stbl. 1908 No. 361), sebagaimana telah diubah dan ditambah;
b. Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie van 27 Februari 1898 Stbl. 1898 No. 90 en 92 dan Ordonnantie van 10 Juli 1923 Stbl. 1923 No. 344), sebagaimana telah diubah dan ditambah;
c. Ordonansi Cukai Bir (Bieraccijns Ordonnantie Stbl. 1931 No. 488 en 489), sebagaimana telah diubah dan ditambah;
d. Ordonansi Cukai Tembakau (Tabacsaccijn Ordonnantie Stbl. 1932 No. 517) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
e. Ordonansi Cukai Gula (Suikeraccijns Ordonnantie Stbl. 1933 No. 351) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
Kedelapan: disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan penyelesaian Sengketa ajak (UU BPSP). Dengan berlakunya undang-undang ini, Regeling van het Beroep in Belastingzaken (Stbl Tahun 1915 Nomor 707 jo. Stbl Tahun 1927 Nomor 29) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan UU No. 5 Tahun 1959, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kesembilan: disahkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD 1997), dan mencabut pajak-pajak daerah sebelumnya.
Kesepuluh: disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP 1997), dan menyatakan tidak berlaku lagi Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagih pajak Negara dengan Surat Paksa.
Kesebelas: disahkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB 1997), dan Ordonansi Bea Balik Nama Stbl 1924 Nomor 291 dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik Nama atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan/atau bangunan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
4. Penyempurnaan Reformasi Perpajakan
Selanjutnya dilakukan perubahan-perubahan undang-undang perpajakan yang bersifat penyempurnaan dalam Ayza (2017: 12) yaitu:
a. UU KUP 1983, telah diubah, pertama dengan UU No. 9 Tahun 1994, kedua dengan UU No. 16 Tahun 2000, ketiga dengan UU No. 28 Tahun 2007, dan keempat dengan UU No. 16 Tahun 2009.
b. UU PPh 1983, telah diubah, Pertama dengan UU No. 7 Tahun 1991, kedua dengan UU No. 10 Tahun 1994, ketiga dengan UU No. 17 Tahun 2000, keempat dengan UU No. 36 Tahun 2008.
c. UU PPN 1983 telah diubah, pertama dengan UU No. 11 Tahun 1991, kedua dengan UU No. 18 Tahun 2000, ketiga dengan UU No. 42 Tahun 2009.
d. UU PBB 1985, telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
e. UU Bea Materai 1985, mulai berlaku 1 Januari 1986;
f. UU PPSP, telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000.
g. UU BPSP 1997, dicabut dan diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mulai berlaku tanggal 12 April 2002.
h. UU BPHTB 1997, telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000.
i. UU Kepabeanan 1995, telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006.
j. UU Cukai 1995, telah diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007.
k. UU PDRD 1997, diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, dan terakhir diganti dengan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD 2009) mulai berlaku tahun 2010.
Dengan demikian terdapat 11 undang-undang perpajakan yang berlaku saat ini yang pemungutan dan penatausahaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di lingkungan Kementerian Keuangan serta pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dalam Ayza (20017: 12-13) yaitu:
Direktorat Jenderal Pajak:
a. UU KUP mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
b. UU PPh mengenai pajak atas penghasilan;
c. UU PPN dan PPn BM, mengenai pajak atas pertambahan nilai barang dan jasa, serta pajak penjualan atas barang mewah;
d. UU PBB mengenai pajak atas bumi dan bangunan;
e. UU Bea Meterai, mengenai pajak atas dokumen keperdataan;
f. UU Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan;
Direktorat Jenderal Bea Cukai:
a. UU Kepabeanan;
b. UU Cukai;
Kepala Daerah, di 33 provinsi dan 497 Kabupaten/Kota:
a. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Undang-undang perpajakan yang berlaku untuk semua
a. UU Penagih Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP);
b. UU Pengadilan Pajak.
Pada tanggal 11 Juli 2016 Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia menetapkan Rancangan Undang-undang tentang Pengampunan Pajak menjadi undang-undang (Ayza, 2017: 13).
Undang-undang Pengampunan Pajak tercatat sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016, diundangkan pada hari itu juga dalam Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 Nomor 131 dengan latar belakang sebagaimana dimaksud dalam konsiderans sebagai berikut (Ayza, 2017: 13-14):
a. Bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan, memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak;
b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada;
c. Bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu ditingkatkan karena terdapat harta, baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
d. Bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan oertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
Pembentukan Undang-undang Pengampunan Pajak mengandung kontroversi sampai adanya upaya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (Ayza, 2017: 14).

B. TARIF PAJAK
Tarif pajak adalah dasar pengenaan besarnya pajak yang harus dibayar subjek pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungan (Kusnanto, 2019: 43). Tarif pajak dihitung dapat berupa besarnya persentase (%) atau jumlah tertentu (sekian rupiah) (Kusnanto, 2019: 17).
Dalam berbagai literatur perpajakan, dikenai lima macam tarif pajak, yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proposional (proposional rate), tarif progesif (progressive rate), tarif regresif (regresive rate) (Kusnanto, 2019: 43).
1. Tarif Tetap
Tarif tetap (fixed rate) adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah (atau dolar) bersifat tetap, walaupun objek pajaknya bebeda-beda. Contohnya adalah tarif bea meterai. Berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1985, jumlah bea meterai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp. 1.000.000,00 adalah Rp. 6.000,00, meskipun uang yang diterima besarnya Rp. 100.000.000,00, dan seterunya, jumlah bea meterai yang terutang tetap Rp. 6.000,00 (Kusnanto, 2019: 43).
2. Tarif Proporsional
Tarif proposional (propotional rate) adalah tarif pajak yang besar kecilnya tergantung besar kecilnya pendapatan. Jika pendapatan seseorang naik maka tarifnya naik, walaupun besarnya persen pajak tetap. Misalnya jumlah pajak dari pendapatan yang harus dibayar adalah sebagai berikut.
Pendapatan % Pajak Besarnya Pajak
Rp. 750.000,00 15% Rp. 112.500,00
Rp. 900.000,00 15% Rp. 135.000,00
Rp. 1.000.000,00 15% Rp. 150.000,00

Dari contoh diatas kelihatan besar kecilnya tarif pajak dan pendapatan serta perbandingan beban pajak terhadap pendapatan. Contoh ini bisa kita lihat misalnya dikenakan pada setiap orang yang menginap di hotel, dengan menyewa kamarnya contoh dikenakan 10% pajak pembangunan dari sewa kamar yang dipakainya (Kusnanto, 2019: 44).
3. Tarif Progresif
Tarif progesif adalah tarif pajak yang persentasinya makin besar jika objek pajak bertambah. Di mana jika makin besar pendapatan yang diperoleh wajib pajak maka makin besar pula persentase pajak yang harus dibayar. Tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu progresif-proporsional, progresif-degresif, dan progresif-progresif (Kusnanto, 2019: 44).
a. Progresif-proporsional
Pendapatan % Pajak Besarnya Pajak
Rp. 500.000,00 3% Rp. 15.000,00
Rp. 1.000.000,00 5% Rp. 50.000,00
Rp. 1.500.0000,00 7% Rp. 105.000,00
Dari contoh diatas kelihatan kenaikan pendapatan diikuti dengan kenaikan persentase pajak dan tarif pajak yang sama kenaikannya serta secara proporsional, yaitu 2% (Kusnanto, 2019: 44).
b. Progresif-degresif
Pendapatan % Pajak Besarnya Pajak
Rp. 500.000,00 3 % Rp. 15.000,00
Rp. 1.000.000,00 4% Rp. 70.000,00
Rp. 1.500.000,00 5,5 % Rp. 157.000,00
Rp. 2.000.000,00 7,5 % Rp. 270.000,00
Setiap kenaikan pendapatan sebesar Rp. 500.000,00, persentase terhadap pajak pendapatan dikenakan setiap kali, penurunan jumlahnya. Perhatikan 3% ke 4% dari 7% ke 10,5% kenaikan 3,5% dan dari 10,5% ke 13,5% kenaikan 3%. Jadi kenaikan tarif pajak diikuti dengan turunnya pengenaan pajak (persentase kenaikan beban pajak) (Kusnanto, 2019: 45).
c. Progresif-progresif
Pendapatan % Pajak Besarnya Pajak
Rp. 500.000,00 3% Rp. 15.000,00
Rp. 1.000.000,00 4% Rp. 40.000,00
Rp. 1.500.000,00 5,5% Rp. 82.500,00
Rp. 2.000.000,00 7,5% Rp. 150.000,00
Dari contoh di atas kelihatan setiap kenaikan pendapatan sebesar Rp. 500.000,00, persentase pajak terhadap pendapatan yang dikenai pajak setiap kali naik. Kenaikan tarif pajak untuk setiap kali kenaikan semakin besar. Beban pajak darikenaikan Rp. 500.000,00, yang pertama naik 1% yaitu dari 3% ke 4% dan begitu jua dengan berikutnya 1,5% dari 4% ke 5,5% dan dari 5,5% ke 7,5% naiknya bertambah menjadi 2% (Kusnanto, 2019: 45).


4. Tarif Regresif
Tarif regresif adalah tarif pajak yang dikenakan dengan perkembangan yang kurang sebanding dengan perkembangan pendapatan yang dikenakan pajak. Jadi, makin meningkatnya pendapatan seseorang akan semakin kecil kenaikan tarif pajaknya (Kusnanto, 2019: 45).
Pendapatan % Pajak Besarnya Pajak
Rp. 1.000.000,00 10 % Rp. 100.000,00
Rp. 1.500.000,00 8% Rp. 120.000,00
Rp. 2.000.000,00 7,5% Rp.150.000,00

C. TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu sebagai berikut:
1. Stelsel Nyata (Real Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru bisa dilakukan pada akhir tahun pajak, yaknibsetelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. (Pramukti, 2015: 41).
Sedangkan untuk sistem pemungutan pajak sendiri dibagi menjadi 3 sistem, yaitu:
1. Official Assessment System
Adalah sebuah sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (Pramukti, 2015: 41).


2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang (Pramukti, 2015: 42).
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak (Pramukti, 2015: 42).

D. PAJAK NEGARA (PUSAT) DAN PAJAK DAERAH
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pramukti, 2015: 43).
Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pajak negara (pusat) dan pajak daerah (Pramukti, 2-15: 44).
1. Pajak Negara (Pusat)
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan. Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja negara seperti pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan kesehatan dan lain sebagainya. Proses administrasi yang berkaitan dengan pajak pusat dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (Pramukti, 2015: 44).
2. Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja pemerintah daerah. Proses administasinya dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau kantor sejenis yang dibawahi oleh pemerintah daerah setempat (Pramukti, 2015: 44). Sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak atau retribusi (Pramukti, 2015: 61).
Banyak yang mengira jika pajak pusat dan pajak daerah berdiri sendiri karena hasil dari pajak pusat dan pajak daerah digunakan untuk membiayai rumah tangga masing-masing. Nyatanya, pajak pusat dan pajak daerah bersinergi satu sama lain dalam membangun Indonesia secara nasional dari Aceh hingga Papua. Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika ada kesesuaian program kegiatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

E. JENIS DAN OBJEK PAJAK NEGARA (PUSAT) DAN DAERAH
1. Jenis Pajak dan Objek Pajak Negara (Pusat)
Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta Pajak Penghasilan (PPH). Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam pembahasan dibawah ini:
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4A Undang-Undang No.18/1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No.18/2000 (Pramukti, 2015: 46).
b. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam undang-undang pajak pertambahan nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap: (1) Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; (2) impor barang kena pajakyang tergolong mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah (Pramukti, 2015: 50).
c. Bea Materai
Objek Bea Materai adalah dokumen, yaitu kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan (Pramukti, 2015 : 52).
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 13 Tahun 1985, tentang Bea Meterai, dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah:
1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
4) Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
5) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
6) Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). (Pramukti, 2015 : 53)
d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau  memperoleh manfaat dari padanya (Pramukti, 2015: 57).
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB harus dibayar apabila melakukan salah satu hal berikut dibawah ini:
1) Akta pemindahan hak atas tanda dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT atau Notaris.
2) Risalah lelang untuk pembelian telah ditandatangani oleh kepala kantor lelang atau pejabat lelang yang berwenang.
3) Dilakukannya pendaftaran hak oleh kantor pertahanan baru atau pemindahan hak kerena pelaksanaan putusan hakim dan hibah wasiat (Pramukti, 2015: 58).

f. Pajak Penghasilan (PPH).
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapar dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalalm bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorium, hadiah, dan lain sebagainya (Pramukti, 2015: 61).
2. Jenis Pajak dan Objek Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut (Pramukti, 2015: 62):
a. Pajak Provinsi, meliputi:
1) Pajak Kendaraan Bermotor.
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
4) Pajak Air Permukaan.
5) Pajak Rokok.
b. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:
1) Pajak Hotel.
2) Pajak Restoran.
3) Pajak Hiburan.
4) Pajak Reklame.
5) Pajak Penerangan Jalan.
6) Pajak Mineral Bukan Logram dan Batuan.
7) Pajak Parkir.
8) Pajak Air Tanah.
9) Pajak Sarang Burung Walet.
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkantoran.
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.
Besarnya tarif, untuk pajak provinsi ditetapkan secara seragam diseluruh Indonesia sebagaimana diatur PP No. 65 tahun 2001. Dan besarnya tarif definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah (perda), namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksumum yang telah ditentukan dalam UU (Pramukti, 2015: 62).

F. RETRIBUSI DAERAH
Retribusi diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 1997 yang mendefinisikan retribusi adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan objeknya adalah jasa umum yang meliputi jasa untuk kepentingan dan pemanfaatan umum, jasa usaha yang menganut prinsip komersial dan perizinan tertentu dimana yang termasuk adalah kegiatan pemda dalam rangka pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan (Pramukti, 2015 : 11).
Retribusi daerah terdiri atas 3 golongan yaitu (Pramukti, 2015: 63):
1. Retribusi Jasa Umum
Yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah (pemda) untuk tujuan kepentigan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
2. Retribusi Jasa Usaha
Yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta; dan
3. Retribusi Perizinan Tertentu
Yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemda dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud diatas sebagai berikut (Pramukti, 2015: 64):
Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi
Perizinan Tertentu
Retribusi pelayanan kesehatan;
Retribusi pelayanan
Persamapahan;
Kebersihan;
Retribusi
Penggantian biaya
Cetak kartu tanda  penduduk dan akta
Catatan sipil;
Retribusi pelayanan
Pemakaman dan pengabuan mayat;
Retribusi pelayanan
Parkir di tepi jalan
Umum;retribusi pelayanan pasar;
Retribusi pengujian kendaraan bermotor
Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
Retribusi penggantian biaya
Cetak peta; dan retribusi prngujian kepala perikanan. Retribusi pemakaian
Kekayaan daerah
Retribusi pasar grosir
Dan atau pertokoan;
Retribusi tempat
Pelelangan;
Retribusi terminal;
Retribusi tempat;
Khusus parkir;
Retribusi tempat
Penginapan/
Pesanggahan villa;
Retribusi
Penyedotan kaskus;
Retribusi rumah;
potongan hewan;
Retribusi pelayanan
Pelabuahan kapal;
Retribusi tempaat rekreasi dan olahraga;
Retribusi penerbangan diatas air;
Retribusi pengoahan limbah cair; dan retribusi penjualan produk usaha daerah Retribusi izin mendirikan bangunan;
Retribusi izin penjualan minuman beralkohol; retribusi izin gangguan danretribusi trayek


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian materi makalah ini dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Sejarah perpajakan di Indonesia awalnya merupakan suatu upeti atau pemberian secara cuma-cuma oleh rakyat kepada raja atau penguasa. Seiring dengan berjalannya waktu, upeti yang diberikan oleh rakyat tersebut tidak lagi digunakan untuk kepentingan satu pihak, tetapi mulai mengarah ke kepentingan rakyat itu sendiri. Sejarah Perpajakan di Indonesia dibagi dalam beberapa bagian, yaitu (1) Sebelum Kemerdekaan; (2) Pasca Kemerdekaan; (3) Reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 1984; dan (4) Penyempurnaan Reformasi Perpajakan.
2. Tarif pajak adalah dasar pengenaan besarnya pajak yang harus dibayar subjek pajak terhadap objek pajak yang menjadi tanggungan. Tarif pajak dihitung dapat berupa besarnya persentase (%) atau jumlah tertentu (sekian rupiah). Dalam berbagai literatur perpajakan, dikenai lima macam tarif pajak, yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proposional (proposional rate), tarif progesif (progressive rate), tarif regresif (regresive rate) (Kusnanto, 2019: 43).
3. Tata cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu Stelsel Nyata (Real Stelsel), Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel), dan Stelsel Campuran.
4. Pajak negara (pusat) dan pajak daerah. Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pajak negara (pusat) dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sedangkan pajak daerah merupakan pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
5. Jenis dan objek pajak negara (pusat) dan daerah. Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta Pajak Penghasilan (PPH). Pajak daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
6. Retribusi daerah terdiri atas 3 golongan yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Ayza, Bustamar. (2017). Hukum Pajak Indonesia. Jakarta: Kencana.
Gusfahmi. (2011). Pajak Menurut Syariah Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.
Kusnanto. (2019). Belajar Pajak. Semarang: Mutiara Aksara.
Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. (2015). Pokok-Pokok Hukum Perpajakan. Yogyakarta: Medpress Digital.

Komentar

Postingan Populer