Hari santri nasional

*SEKADAR REFLEKSI HARI SANTRI 22 OKTOBER 2019*
oleh
_Helmi Maulana_

Adalah Sutomo (1920-1981), seorang pemuda yang akhirnya terkenal dengan Bung Tomo, menggelorakan semangat juang hingga titik darah penghabisan pada Pertempuran 10 November 1945, sebagai pertempuran terberat sepanjang sejarah di Revolusi Nasional Indonesia. Peristiwa tersebut tidak lepas dari Resolusi Jihad dideklarasikan oleh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya. Sejak itu memori bangsa ini tidak akan lupa atas peran dan kontribusi nyata santri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran para santri dalam mempertahannkan kemerdekaan Indonesia, empat tahun lalu pemerintah melalui Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri.

Hari santri diisi dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan acara seremonial seperti upacara, memakai pakaian _ala_ santri yang _sarungan_ dan memakai peci serta pakaian muslim/muslimah lainnya. Kegiatan perlombaaan dan kegiatan bakti sosial marak dilakukan masyarakat. Bahkan pawai di jalan-an dengan membawa atribut kesantrian diiringi pentas seni dan akrobatik khas santri ditampilkan dalam rangkaian Hari Santri. Semua larut dalam kesempatan itu seolah mereka menjadi “santri” sehari dan lupa apa dan siapa sebenarnya santri dan bagaimana seharusnya menjadi santri yang memiliki peran dan kontribusi nyata bagi kehidupan keagamaan, sosial, dan kebangsaan.

Terma santri didefinisikan KBBI sebagai orang yang mendalami agama Islam  dan beribadat dengan sungguh-sungguh, serta orang yang saleh. Terminologi itu mengisyaratkan santri sebagai Muslim terpelajar yang soleh secara pribadi dan sosial. Santri identik dengan Muslim yang belajar kitab agama di pesantren dengan busana _sarungan_ dan atribut kesantrian lainnya.

Pakaian yang dikenakan santri mencerminkan budaya kesopanan. Santri mengusahakan dirinya agar menjadi peribadi sopan dalam memperlakukan diri dan orang lain. Ia tahu diri dalam bersikap dengan siapa ia bersosialisasi. Kerengkuhan tubuh di hadapan orang tua dan gurunya, mengucapkan salam, dan sekaligus menyodorkan tangan untuk bersalaman sebuah sikap dan cerminan budaya yang menjunjung tinggi sopan, santun, dan mengutamakan kedamaian.  Jauh dari sikap permusuhan dan menebar kebencian.

Di pesantren, lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, para santri tidak hanya memperoleh pengajaran agama dan akhlaq saja, namun dibekali dengan keterampilan hidup bermasyarakat, ekonomi, organisasi, seni, teknologi, dan bahkan politik (bukan secara praktis). Sering kali para kiai mengajarkan para santrinya untuk bercocok tanam dan beternak, mengolah hasil budidaya dan memanfaakan sumber daya alam dengan benar. Tidak cukup berhenti diproduksi para santri pun diajari bagaimana mendistribusikan hasil karyanya supaya menjadi komoditas ekonomi kreatif. Nilai-nilai pruduktivitas yang berbasis lokal digali untuk bisa _survive_ dalam dunia kemodernan. Santri juga dibekali pengalaman mengelola oganisasi pesantren dan masyarakat sehingga santri benar-benar siap terjun ke masyarakat sebagai orang yang berdaya saing, bukan santri yang hanya menikmati karya asing.

Santri sebagai kaum yang melek huruf dan menjungjung tinggi budaya keilmuan dan keadaban. sebagai kaum terpelajar yang menggunakan semua potensi diri, akal, dan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan. Ia tidak memandang dirinya sebagai orang yang pintar, namun ia hanya memposisikan diri sebagai orang yang terus belajar, belajar, dan belajar. Santri memahami teks keagamaan dengan perangkat keilmuan yang dipelajari dari para kiai dan tidak lupa akan nilai-nilai lokal-keindonesiaan. Santri sangat peka terhadap perkembangan dunia dan kemodernan sehingga ia mampu menjadi manusia yang terpelajar dan menjunjung tinggi perkembangan duania dalam bingkai Islam dan budaya.

Sebagai santri ia akan taat pada semua ajaran yang telah diberikan para kiainya. Penghormatan pada guru ngaji mencerminkan penghormatan pada ilmu pengetahuan. Ia setia pada kiai dan tradisi yang diwarisi dari budaya luhur bangsa ini. Pelajara agama yang diterima santri tidak serta merta melupakan hidup dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Ia tidak lupa dan asyik dengan kemapanan sebagai rakyat biasa, namun jauh memiliki peran dalam kehidupan yang luas. Santri sangggup sendirian tampil dan membela kebenaran.

Tidak diragukan peran dan kontribusi santri dalam kehidupan beragama dan bernegara. Bekal santri mengelola organisasi pesantren dan masyarakat mengantarkan ia menjadi warga negara baik yang tidak melupakan perannya sebagai pejuang bangsa dan mengisi kemerdekaan yang telah telah diwarisi para leluhur (pahlawan) bangsa ini. Sejarah mencatata sejumlah tokoh pergerakan dan tokoh kemerdekaan diisi oleh para santri. Sebut saja, misalnya, KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah (1912) dan KH Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama (1926), dua organisasi keamasyarakatan dan keagaamaan terbesar di Indonesia. Santri dan ulama berkerja dalam visi yang sama mewujudkan Indonesia yang mapan dan berdaya saing. Organisasi sebagai wadah dalam perjuangan menegakan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan telah ditorehkan oleh para pelopor bangsa ini.

Pada tahun 1944, KH Zainal Mustafa (1899-1944) memimpin perjuangan melawan penjajahan Jepang di Tasikmalaya. Jauh sebelum itu Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa atau Perang Diponegoro melawan Belanda (1825-1830), sebuah perang penting yang menyatakan bahwa bangsa ini bukan bangsa lemah dan bisa diperbudak oleh kolonial. Sejarah mencatat Perang Diponegoro adalah perang yang sangat berat dan menjadikan Belanda (VOC) rugi besar dan menjadi mimpi buruk Belanda sepanjang masa. KH Ahmad Sanusi (1888-1950), KH Wahid Hasyim (1914-1953), KH Abdul Halim Majalengka (1887-1962), misalnya, dan sejumlah tokoh lainnya menjadi anggota BPUPKI mewakili kaum santri. Peran dan kontrbusinya tidak diragukan lagi.

Menjadi santri sebuah kebanggaan tersendiri bagi semua orang. Namun, sebagai kaum terpelajar tidak hanya berhenti pada sikap bangga yang menjadi utama adalah bagaimana menjadi santri dapat berkontribusi bagi kemajuan kehidupan bergama kita di Indonesia pada semua aspek pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan penegakan hukum. Santri harus menjadi garda terdepan yang siap dengan kemajuan teknologi informasi. Hidup dalam bingkai kemajemukan tak harus menjadi alasan bahwa santri tak mampu hidup berdampingan dengan sesama dalam perbedaan. Sikap toleransi yang diajarkan para kiai sudah sangat cukup menjadi teladan bagi kita. Kita hanya perlu meluruskan paradigma yang ditanam dalam benak masing-masing santri bahwa keragaman adalah keniscayaan (_sunnatullāh_). Yang dikedepankan menghargai perbedaan, bukan memaksakan persamaan.

Santri dituntut untuk dapat memahami dan mengembangkan kehidupan beragama yang inklusif. Keberagaamaan yang eksklusif yang ditampilkan umat beragama akhir-akhir ini meresahkan masyarakat. Kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama telah menampilkan citra buruk tentang kehidupan beragama. Hal ini bukan disebabkan oleh problem teks keagamaan dan interpretasinya, namun problem politisasi kehidupan beragama dan problem otoritarianisme yang dijajal oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam. Dengan bekal keilmuan santri yang diperoleh di pesantren tidak hanya cukup mengurung diri dengan pemahaman yang monotafsir, namun santri dituntut untuk mampu memahami fenomena dan fakta yang ada dan terus mengedepannkan toleransi dan terus tetap mengedepankan nilai-nilai keilmiahan. Indonesia sebagai bangsa yang yang menjunjung nilai-nilai budaya dan moralitas, para santri harus mampu menegakan hidup yang berwawasan pada visi keagamaan-keislaman, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Akhirnya, saya mengcupakan Selamat Hari Santri 22 Oktober 2019. Semoga kita dapat menjadi santri yang mengabdi pada negeri.

_Wisma Tape Sapen-Yogyakarya, 22 Oktober 2019_

Komentar

Postingan Populer