manajemen sedekah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar
belakang pembuatan makalah ini ialah untuk sedikit memberikan penjelasan
mengenai yang berkaitan dengan sedekah. Selain itu makalah ini juga dibuat
untuk memenuhi tuagas mata kuliah Manajemen ZISWAF. Makalah ini juga mejelaskan
mengenai pengertian sedekah, hukum bersedekah, Shadaqah Sunnat/Tathawwu’,
Konsep Pengelolaan Infaq dan Shadaqah.
Masih
banyak orang diluar sana yang tidak seberuntung kita. Untuk itu kita harus
peduli antar sesama, dan dapat kita jadikan bekal di akhirat nant, karena
sedekah sekecil apapun itu akan sangat berguna bagi orang yang membutuhkan.
Mudah-mudahan dengan mambaca makalah ini kita semua dapat mengamalkannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu
pengertian sedekah?
2.
Bagaimana hukum
sedekah itu?
3.
Apa yang
dimaksud Shadaqah Sunnat/Tathawwu’?
4.
Bagaimana konsep
Pengelolaan Infaq dan Shadaqah?
C. Tujuan
1.
Mahasiswa diharapkan
dapat mengetahui apa pengertian sedekah
2.
Mahasiswa
diharapkan dapat mengetahui tujuan daripada sedekah itu
3.
Mahasiswa dapat
mengetahui Shadaqah Sunnat/Tathawwu’
4.
Mahasiswa
diharapkan dapat mengetahui bagaimana konsep pengelolaan infaq dam Shadaqah
BAB II
SEKILAS TENTANG SEDEKAH
A. Pengertian
Sedekah
Kata
sedekah diambil dari bahasa Arab yaitu:
shadaqah yang artinya berderma. Sedangkan menurut penggunaan kata lazim,
sedekah itu ialah pemberian seseorang
dengan sepontan dan sukarela, tanpa dibatesi oleh waktu dan jumlah tertentu.
Sedekah juga memiliki arti benar atau membenarkan. Orang yang bersedekah berarti
sudah membenarkan (membuktikan imannya). Orang yang bersedekah berarti termasuk
orang-orang yang imannya kuat. [1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
sedekah diartikan sebagai pemberian (kepada fakir miskin) yang timbul dari
kemurahan hati. Dalam agama, menjadi orang yang murah hati, ringan membantu
orang lain,atau ungkapan yang semakna dengan itu, sangatlah penting. Alasan
rasionalnya antara lain seperti yang dijelaskan Nabi. Orang yang murah hati itu
dekat dengan manusia dan dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang keras hati
itu (tidak peduli atau pelit) itu jauh dari manusia dari manusia dan jauh dari
Tuhan.[2]
Kalau
melihat penjelasan Nabi, sedekah itu adalah istilah umum untuk kebaikan yang
kita berikan kepada orang lain. Apapun kebaikan yang kita berikan kepada orang
lain adalah sedekah. Kebaikan ini bisa berupa barang, jasa atau atau bahkan
ungkapan perasaan atau ekspresi sikap yang membahagiakan orang lain (menurut
akal sehat).[3]
Bahkan kebaikan yang kita
perjuangkan untuk diri sendiri juga termasuk sedekah, misalnya saja melawan
hawa nafsu. Karena itu, Nabi mengatakan bahwa setiap orang muslim wajib
bersedekah. Lalu ada sahabat yang bertanya, “Bagaimana kalau dia tidak sanggup?”
Kata Nabi “Dia harus bekerja untuk dapat memberi manfaat kepada diri sendiri,
dan supaya dia dapat bersedekah”. Bagaimana kalau dia tidak sanggup?”
Rasulullah menjawab, “memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan
pertolonga”. Bagaimana kalau dia tidak sanggup juga?”, Menahan diri dari
perbuatan kejahata, itupun merupakan sedekah. Jawab Rosulullah”. (HR. Muslim).[4]
Dalam perkembangannya, kemudian
kemudian kita diperkenalkan dengan istilah sedekah jariyah. Jariyah menurut
bahasa artinya mengalir. Sedekah jariyah adalah sedekah (barang atau jasa) yang
pahalanya mengalir karena barang dan jasa yang kita sedekahkan itu terus
digunakan atau menghasilkan manfaat bagi orang lain secara terus menerus.
Dari kajian Imam Suyuti (911 H) ada
sedikitnya 10 bentuk amal yang kalau dilakukan dengan benar akan menjadi
shadaqah jariyah, nyaitu:
1. Ilmu
yang bermanfaat
2. Doa
anak shaleh
3. Sedekah
jariyah (wakaf)
4. Menanam
pepohonan yang buahnya bisa dimanfaatkan oleh orang lain
5. Mewakafkan
buku, kitab, atau Al-Qur’an
6. Berjuang
dan membela tanah air demi kemerdekaan orang banyak
7. Membuat
sumur untuk kemaslahatan (bisa simbolik artinya)
8. Membuat
irigasi/fasilitas publik
9. Membangun
tempat penginapan bagi para musafir (fasilitas pertolongan bagi yang
membutuhkan untuk tujuan positif)
10. Membangun tempat ibadah dan belajar
Dalam
prakteknya, kita juga mengenal istilah sedekah dan infaq. Apa bedanya? Infaq berasal
dari kata anfaqa yang berarti
mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi
syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau
pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Tuhan.
Sedekah adalah bentuk pemberian yang bisa bersifat meterial ataupun non
material. Sedangkan infaq adalah spesifik.Tetapi perbedaan ini tidak berlaku.
Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata infaq tetapi mengandung
arti sedekah juga.[5]
Kerap
kita juga menemui istilah zakat, infak dan sedekah. Apa lagi bedanya? Zakat
adalah kewajiban dan memiliki ukuran tertentu sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan (sangat spesifik). Dalam Al-Qur’an, tidak semua perintah berzakat
itu menggunakan istilah zakat. Ada juga yang menggunakan istilah sedekah. Jadi,
sedekah terkadang digunakan untuk menjelaskan kewajiban berzakat.
Baik
itu sedekah, infaq, atau zakat, itu semua termasuk pinjaman yang kita berikan
kepada Allah. Dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi, banyak kita temui anjuran agar
kita memberikan pinjaman kepada Allah maksudnya adalah segala bentuk
pengeluaran (infaq, shadaqah, zakat) yang kita niati karena Allah dan kita
gunakan di jalan Allah (kebaikan).
Sesuatu
yang dijelaskan Nabi, harta yang kita pinjamkan kepada Allah inilah harta kita
yang sesungguhnya dan yang abadi. Harta yang kita miliki itu akan habis dimakan
atau kita gunakan untuk membeli kebutuhan dan keinginan. Kalau kita belikan
mobil atau rumah, barang itu akan usang. Tapi harta yang kita pinjamkan kepada
Allah itu utuh.
Al-Qur’an
menerangkan bahwa orang yang meminjamkan hartanya kepada Allah, maka ia akan
mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Mengenai balasan ini, ada yang
bersifat visible dan ada yang
bersifat invisible.
Visible
artinya bisa dijelaskan dan dibuktikan dengan nalar ataupun dengan dalil-dalil aqly. Sedangkan yang invisible itu tidak bisa
dijelaskan dengan nalar atau hanya dijelaskan melalui dalil-dalil naqly.
Sesungguhnya
orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya)
kepada mereka, dan bagi mereka palaha yang banyak”. (QS. Al-Hadid: 18)[6]
Kalau
melihat penjelasan Al-Qur’an, sedekah ini juga bisa dikatan sebagai “lawan”
dari riba. Riba adalah praktek memperoleh tambahan yang disemangati oleh
dorongan untuk memperkaya diri dengan cara membebani atau maengeksploitasi
orang lain. Istilah ini mengacu kepada praktek ekonomi rentenir yang terjadi
pada zaman jahiliyah. Para pemodal mendapatkan kekayaan dari tambahan pinjaman
yang mereka salurkan kepada orang-orang miskin.
Menurut
ilmu fiqih, riba itu ada dua macam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhol.
Riba nasi’ah adalah pembayaran lebih
yang disyaratkan orang yang meminjamkan. Sedangakan riba fadhol ialah penukaran
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian. Bagaimana
sedekah itu bisa dikatakan lawan dari riba? Al-Qur’an menjelaskan seperti
dibawah ini:
Állah memusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan sesalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah: 276)
Yang dimaksud dengan
memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu untuk memusnahkan keberkahan dari
harta yang didapatkannya. Sedangkan yang dimaksud menyeburkan sedekah ialah
menciptakan perkembangan dari harta yang dimilikinya atau melipatgandakan
berkah yang didapatkannya. Jika kita telah menunaikan sedekah, tetapi ternyata
harta kekayaan kita tidak bertambah, tidak berarti sedejah kita itu gagal
(tidak bekerja). Selama kita meng-ikhlaskan hati dalam bersedakah, maka
penambahan itu harus kita imani sebagai kenyataan yang pasti terjadi. Hanya
saja mingkin bentuknya bisa berupa menambahkan fisik (material) atau juga
menambahkan non-fisik (keberkahannya).
Keberkahan adalah
tambahan kebaikan dari kebaikan yang sudah ada. Gaji yang kita terima
setiap bulannya dari tempat kita bekerja
adalah kebaikan. Gaji yang berkah adalah gaji yang ternyata tersalurkan untuk
berbagai macam kebaikan dalam hidup kita. [7]
B. Hukum Bersedekah
Apa hukum bersedekah
dalam agama? Para ulama umumnya sepakat bahwa hukum asal bersedekah itu
dasarnya adalah sunnah. Sunnah di sini maksudnya adalah suatu perbuatan yang
berpahala bila dilakukan dan tidak
berdosa jika ditinggalkan. Ini definisi sunnah secara umum dan definisi
yang paling ”kulit”.[8]
Apa definisi sunnah
yang lain? Definisinya mungkin sama, tetapi yang perlu dibedakan adalah
pemahamannya dan semangatnya. Perbuatan yang hukumnya sunnah dalam agama itu
perlu dipahami juga sebagai bentuk adanya skala ketakwaan yang lebih tinggi.
Ini bisa dikiaskan pada hal-hal yang sederhana dan manusiawi.[9]
Seorang karyawan yang
pekerjaannya hanya sesuai perintah dan larangan, karyawan itu disebutnya
sebagai karyawan yang motivasinya untuk maju masih rendah. Karyawan yang
motivasinya untuk maju itu adalah karyawan yang bisa melebihi apa yang
diperintahkan dan apa yang dilarang atas kesadarannya atau inisiatifnya. Tentu
saja dengan tetap memperhatikan apa yang diperintah dan apa yang dilarang.[10]
Begitu juga dalam praktek
keagamaan yang kita jalankan. Kalau kita hanya menjalankan perintah (wajib) dan
larangan semata (haram), itu berarti skala kesadaran kita masih rendah atau
hanya baik untuk diri sendiri. Supaya naik
ke skala yang lebih tinggi, maka kita
perlu menjalankan yang wajib, menghindari yanag haram, menambahnya
dengan hal-hal yang sunnah adalah bentuk kedasaran yang lebih baik. Karena itu
ada yang mengatakan, jangan hanya beribadah hanya untuk mendapatkan surga atau
terbebas dari neraka. Beribadahlah karena rasa cinta (kesadaran hati).[11]
Dengan menyempurnakan
yang wajib, yang haram, yang sunnah, atau yang makruh, maka bukan cara kita
dalam beragama saja yang akan menarik. Kualitas iman kita pun akan membaik.
Kita semua mungkin sudah beragama, namun belum tentu iman kita baik. Supaya
iman kita membaik, maka kita perlu memperbaikinya setiap saat. Indikator adanya
ke-imanan yang membaik adalah ketakwaan yang terus membaik.[12]
Kemabali ke hukum
sedekah, hukum itu juga akan beruah bila alasan dan keaadaannya berubah. Ini
sesuai filsafat hukum Islam (Ushul Fiqih) yang mengenal kaidah dimana suatu
hukum itu ditetapkan berdasarkan alasan-alasan yang melatar belakanginya. “Alhukmu yaduuru bainal illah wujuudan
waadaman”. Jadi, meskipun hukum asalnya sunnah, bersedekah bisa jadi
hukumnya haram apabila terdapat alasan-alasan yang mendukungnya.[13]
Hukum sedekah juga bisa
menjadi wajib jika kita bernadzar akan bersedekah kepada seseorang atau
lembaga. Nadzar sebetulnya adalah janji
kita kepada Allah untuk melakukan sesuatu. Namanya juga berjanji kepada
Allah, tentu saja harus yang baik. Contoh nadzar yang bersyarat adalah kita
akan bersedekah kalau sembuh dari sakit, kalau jabatan kita naik, kalau anak
kita lulus, dan lain-lain.[14]
Nadzar untuk melakukan
ketaan atau hal-hal yang baik, seperti berpuasa, sedekah, i’tikaf, haji, atau
membaca Al-Quran wajib ditepati. Bila nadzar tersebut bersyarat seperti bila
sembuh dari sakit atau kalau mendapatkan rizki tertentu, maka nadzar itu harus
segera dilakukan. Bagaimana kalau melaksanakannya terus diundur? Inipun tidak
berdosa. Bagaimana kalau seseorang itu bernadzar untuk bersedekah, tetapi
meninggal dunia sebelum nadzar itu dilaksanakan? Ahli waris berkewajiban
mewujudkan nadzar itu sejauh mampu dilakukan dan diketahui nadzarnya. Meskipun
bernadzar untuk kebaikan itu bukanlah hal yang jele, namun idealnya, untuk
berbuat baik itu tidak perlu bernadzar.[15]
C. Shadaqah
Sunnt/Tathawwu’
Pada
perinsifnya setiap orang dianjurkan untuk bersedekah sepagai bentuk ketaatan
kepaa Allah SWT, dan bentuk kasing sayang terhadap sesama manusia. Selain itu,
didalam harta seseorang ada hak mustahik. Shadaqah sunnat dimaksudkan sebagai
tambahan dari zakat. Hak ini juga dimaksudkan sebagai ujian keimanan sehinggga
harta kekayaan tidak menumpuk dikalangan orang-orang kaya saja. Besarnya
keimanan seseorang akan berimbas pada besarnya shadaqah yang ia berika.Namun,
yang penting adalah keikhlasan dan ketaqwaan. Yang paling baik adalah ikhlas
dan taqwa sebagai dasar orang banyak mengeluarkan sedekah.[16]
“Sesungguhnya shadaqah itu
memudahkan kemarahan Tuhan dan menolak kematian secara buruk”.
Tidak
hanya orang kaya yang dapat bersedekah, orang yang hidup sederhana pun dapat
mengeluarkan sedekah sesuai dengan kemampuan. Sedekah akan lebih menambah
kakayaan yang ia miliki, asalkan dilakukan dengan keikhlas hanya berharap ridha
Allah SWT.
D.
Konsep
Pengelolaan Infaq dan Shadaqah
Istilah
Infaq dan Shadaqah sering digunakan dalam secara bersamaan dalam beberapa
pembahasan, seperti pembahasan mengenai pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan
Shadaqah (ZIS) sehingga muncul istilah Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah
(BAZIS) maupun Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS). Padahal istilah
amil hanya digunakan hanya digunakan dalam konsep pengelolaan dana zakat. Namun
demikian, praktik pengelolaan dana ZIS sudah begitu populer di Indonesia
sehingga seolah daba ZIS tidak ada bedanya satu dengan yang lain.[17]
Pada bagian sebelumnya telah dibahas
tentang konsep dasar zakat dan pengelolaannya, selanjutnya pada bagian ini akan
dibahas Infaq dan Shadaqah. Infaq merupakan harta (materiil) yang disunnahkan
untuk dikeluarkan jumlah dan waktu yang tidak ditentukan. Penyalurnya tidak
ditentukan penerimanya.Sedangkan shadaqaoh adalah harta non materiil yang
disunnahkan untuk dikerjakan, contaoh: senyum, menyingkirkan batu/paku ditengah
jalan, dan lain sebagainya. Pengerti infaq sama halnya dengan pengerian
shadaqah, termasuk juga hukum dsn ketentusn ketentuannya. Hanya saja, infaq
berkaitan dengan materi, shadaqah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang
bersifat non materi. Secara akuntansi, infaq masih mungkin untuk dihitung
sedangkan shadaqah tidak mudah melakukan karkulasi secara tepat karena
merupakan pemberian harta non materiil. [18]
Beberapa
ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menerangkan tentang infaq dan shadaqah, antara
lain
a. Surat
Al-Baqarah: 195
“dan belanjakanlah (harta bendamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dam berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”.
b. Surat
Al-Baqarah: 215
“mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalana”. dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah maha mengetahuinya”.
c. Surat
At-Taubah: 35
“pada hari dipanaskanemas iperak itu
dalam neraka Jahanam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka
(lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu ynag kamu simpan untuk
dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu.[19]
PENUTUP
Jadi
dalam pembahasan makalah mengenai materi sedekah kali ini kiya dapat kita
simpulkan, sedekah diambil dari bahasa Arab yaitu: shadaqah yang artinya berderma. Sedangkan menurut penggunaan kata
lazim, sedekah itu ialah pemberian
seseorang dengan sepontan dan sukarela, tanpa dibatesi oleh waktu dan jumlah
tertentu.
Para
ulama umumnya sepakat bahwa hukum asal bersedekah itu dasarnya adalah sunnah.
Sunnah di sini maksudnya adalah suatu perbuatan yang berpahala bila dilakukan
dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
Orang
dianjurkan untuk bersedekah sepagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT, dan
bentuk kasing sayang terhadap sesama manusia.
Infaq
dan Shadaqah sering digunakan dalam secara bersamaan dalam beberapa pembahasan,
seperti pembahasan mengenai pengelolaan dana Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)
sehingga muncul istilah Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) maupun
Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS).
DAFTAR PUSTAKA
Ubaedy.
2009. Hikmah Bersedekah, Jakarta: Bee
Media Indonesia
Ridwan.
2013. Baitul Mal wa Tamwil, Bandung:
CV. Pustaka Setia
Muhamad
Rifqi. 2008. Akuntansi Keungan Syariah,
Yogyakarta: P3EI Press
[1]Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 9
[2] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 10
[3] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 10
[4] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 11
[6] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 15
[7] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 17
[8] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 20
[9] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 20
[10] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 21
[11] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 21
[12] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 21
[13] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 22
[14] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 26
[15] Hikmah
Bersedekah, A.N Ubaedy, (Jakarta: Bee Media, 2009), hlm. 27
[16]
Manjemen Baitul Mal wa Tamwil, Ridwan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm.
188
[17]
Akuntansi Keuangan Syariah, Muhamad, Rifqi (Yogyakarta: P3EI Press, 2008), hlm.
292
[18]
Akuntansi Keuangan Syariah, Muhamad, Rifqi (Yogyakarta: P3EI Press, 2008), hlm.
292
[19]
Akuntansi Keuangan Syariah, Muhamad, Rifqi (Yogyakarta: P3EI Press, 2008), hlm.
292
Komentar
Posting Komentar