Peradilan dan keadilan di bidang pajak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum sebagai mana dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai Negara hukum, Indonesia juga bercirikan sebagai negara kesejahteraan modern (welfare state modern) yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam butir Pancasila Sila ke-5.
Berkaitang dengan pengenaan pajak dalam mewujudkan negara kesejahteraan modern, negara harus menjamin keadilan sosial dalam pelaksanaan agar terhindar dari penindasan maupun pelanggaran hukum. Sehingga harus dipahami bahwa pelaksanaan pengenaan pajak oleh pemerintah kepada wajib pajak yang kemudian berlakulah suatu hukum pajak, sebagaimana dikemukakan oleh Santoso Brotodihardjo sebagai berikut: Hukum pajak yang disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
Penegakan hukum pajak dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa pajak di luar peradilan pajak sebagaimana dilakukan oleh pejabat pajak dengan melakukan penagihan pajak. Sedangkan penegakan hukum pajak melalui peradilan pajak dilakukan oleh Lembaga Keberatan dan Pengadilan Pajak yang berpuncak pada Mahkamah Agung dengan cara pemeriksaan dan memutus sengketa pajak. Menurut Dewi Kania Sugiharti tentang Peradilan Pajak sebagai berikut: Peradilan pajak mencangkup hal yang luas, meliputi baik peradilan untuk penyelesaian perkara tindak pidana fiscal maupun yang mengenai sengketa (administrasi) pajak (yakni sengketa yang timbul karena tidak adanya kecocokan tentang jumlah utang pajak yang harus dibayar, yang terjadi antara wajib pajak dengan fiskus.


B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan peradilan dan keadilan di bidang perpajakan?
2. Bagaimana persiapan dan tata cara persidangan di pengadilan Pajak?
3. Bagaimana penerapan peradilan pajak di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peradilan dan keadilan di bidang perpajakan
2. Untuk mengetahui persidangan di pengadilan pajak
3. Untuk mengetahui peradilan pajak di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

A. Peradilan dan Keadilan di Bidang Perpajakan
Istilah “peradilan” sering kali dirancukan dengan istilah “pengadilan”. Kedua istilah tersebut tersebut nampaknya sama-sama berasal dari kata dasar “adil”, yang mendapat konfiks (awalan dan akhiran) per-an dan peng-an. Sebagaimana dikutip oleh Sunindhia dan Ninik Widiayanti,  terhadap kedua macam istilah itu, R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio pada pokoknya menyatakan bahwa pengadilan (rechtspraak) atau court menunjuk kepada badan, sedangkan peradilan (rechtpraak) atau judiciary menunjuk kepada fungsinya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa pada dasarnya peradilan selalu bertalian dengan pengadilan. Pengadilan bukanlah semata-mata badan saja, tetapi juga mengandung pengertian abstrak, yaitu memberikan keadilan. Di bagian lain, Rochmat soemitro membedakan antara peradilan, pengadilan, dan badan pengadilan. Titik berat peradilan tertuju pada prosesnya, pengadilan pada cara, sedangkan badan pengadilan tertuju pada badan, dewan, hakim, atau instansi pemerintah.
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan istilah peradilan, khususnya di bidang pajak, lebih tertuju kepada mekanisme pemberian keadilan dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan melalui lembaga yang ada (meski tidak bernama peradilan). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan konstelasi sistem peradilan di Indonesia seperti sekarang ini, pembicaraan tidak hanya terbatas pada lingkungan peradilan seperti apa secara eksplisit disebut dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebgaimana telah dicabut dan diganti dengan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, melainkan juga mekanisme di luar itu seperti melalui upaya keberatan (hakim doeleansasi) juga menjadi bahan uraian.
Wajib pajak yang belum merasa mendapat perlakuan karena surat keberatan di tolak sebagian atau seluruhnya oleh fiskus, maka dalam jangka waktu tiga bulan setelah diterimanya keputusan penolakan, wajib pajak (WP) dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak, hal tersebut khususnya untuk pajak langsung.
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.
1. Syarat-syarat Banding (Pasal 35, 36, 38 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak)
Menurut Marsyahrul (2005: 204-205), bahwa adapun syarat-syarat banding adalah:
a. Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan pajak.
b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan permohonan banding.
d. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding.
e. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
f. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
g. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50 % (lima puluh persen).
h. Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktunya.
2. Siapa yang Mengajukan Banding (Pasal 37)
Banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.
Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud (Marsyahrul, 2005: 205).
3. Pencabutan Banding (Pasal 39)
Terhadap banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan pajak. Menurut Marsyahrul (2005:205-206) banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan cara sebagai berikut:
a. Penetapan ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan,
b. Putusan majelis/hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding. Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan dimaksud tidak dapat diajukan kembali

B. Persidangan di Pengadilan Pajak
Menurut Marsyahrul (2005:208) Dalam persidangan di pengadilan pajak semua orang yang terlibat harus ada di dalam ruangan pengadilan bersama dengan petugas peradilan pajak. Adapaun petugas di pengadilan pajak terdiri dari ketua, wakil ketua, dan hakim adalah ketua, dan hakim pada pengadilan pajak.
1) Hakim tunggal adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dengan acara cepat.
2) Hakim anggota adalah hakim dalam suatu majelis yang ditunjuk oleh ketua untuk menjadi anggota dalam majelis.
3) Hakim ketua adalah hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua untuk memimpin sidang.
4) Sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti adalah sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti pada pengadilan pajak.
5) Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti adalah sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti pengadilan
6) pajak yang melaksanakan fungsi kepaniteraan
1. Persiapan Persidangan
Pengadilan pajak meminta surat uraian banding atau surat tanggapan atas surat banding atau surat gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima surat banding atau surat gugatan.
Dalam hal pemohon banding mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada pengadilan pajak (Pasal 38) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari di atas dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.
Terbanding atau tergugat menyerahkan surat uraian banding atau surat tanggapan dalam jangka waktu:
- 3 (tiga bulan) sejak tanggal dikirim permintaan surat uraian banding, atau
- 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan surat tanggapan
Salinan surat uraian banding atau surat tanggapan dimaksud oleh pengadilan pajak dikirim kepada pemohon banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima. Pemohon banding atau penggugat dapat menyerahkan surat bantahan kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan surat uraian banding atau surat tanggapan. Salinan surat bantahan dikirim kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima surat bantahan.
Apabila terbanding atau tergugat atau pemohon banding atau penggugat tidak memenuhinya, pengadilan pajak tetap melanjutkan pemeriksaan banding atau gugatan. Pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada ketua untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan (Marsyahrul, 2005: 208-209).
Catatan:
- Tanggal dikirim adalah stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung,
- Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan atau putusan diterima secara langsung.

a. Hari Sidang (Pasal 47, 48)
Ketua menunjuk majelis yang terdiri atas 3 (tiga) orang hakim atau hakim tunggal untuk memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh majelis, ketua menunjuk salah satu seorang hakim sebagai hakim ketua yang memimpin pemeriksaan sengketa pajak.
Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang bersengketa. Majelis atau hakim tunggal dimaksud di atas sudah mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat banding.
Dalam hal gugatan, majelis/hakim tunggal sudah memulai sidang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima surat gugatan (Marsyahrul, 2005: 209-210).
b. Pemeriksaan dengan Cara Biasa (Pasal 49, 50, 53, 54, 64)
Pemeriksaan dengan cara biasa dilakukan oleh majelis. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, majelis melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan banding atau gugatan.
Apabila banding atau gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sepanjang bukan merupakan persyaratan:
- Bahasa Indonesia/banding (Pasal 35 ayat (1)),
- 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding (Pasal 36 ayat (1)),
- Telah dibayar sebesar 50 % (Pasal 36 ayat (4)),
- Bahasa Indonesia/gugatan (Pasal 40 ayat (1)), dan
- 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat gugatan (Pasal 40 ayat (6)).
Kelengkapan dan/atau kejelasan dapat diberikan dalam persidangan. Hakim ketua memanggil terbanding atau tgergugat dan dapat memanggil pemohon banding atau penggugat untuk memberikan keterangan lisan. Dalam hal pemohon banding atau penggugat memberitahukan akan hadir dalam persidangan, hakim ketua memberitahukan tanggal dan hari sidang kepada pemohon banding atau penggugat.
Hakim ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal-hal yang dikemukakan pemohon banding atau penggugat dalam surat banding atau surat gugatan dan dalam surat bantahan.
Apabila majelis memandang perlu dan dalam hal pemohon banding atau penggugat hadir dalam persidangan, hakim ketua dapat meminta pemohon banding atau penggugat memberikan keterangan yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa pajak.
Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya yang ditetapkan. Hari persidangan berikutnya diberitahukan kepada terbanding atau tergugat dan dapat diberitahukan kepada pemohon banding atau penggugat. Dalam hal terbanding atau tergugat tidak hadir pada persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sekalipun ia telah diberitahu secara patut, persidangan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat (Marsyahrul, 2005: 210-211).
c. Pemeriksaan dengan Cara Cepat (Pasal 65, 66, 67, 68)
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh majelis atau hakim tunggal. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:
- Sengketa pajak tertentu;
- Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan (Pasal 81 ayat (2));
- Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan dalam muatan (format) putusan (Pasal 84 ayat (1)) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam putusan pengadilan pajak;
- Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang pengadilan pajak.
Sengketa pajak tertentu adalah sengketa pajak yang banding atau gugatannya tidak memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- • Dalam bahasa Indonesia/Banding (Pasal 35 ayat (1)),
- Dalam jangka waktu 3 bulan (Pasal 35 ayat (2)),
- Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding (Pasal 36 ayat (1)),
- Telah dibayar 50 % (Pasal 36 ayat (4)),
- Diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya (Pasal 37 ayat (1)),
- Dalam bahasa Indonesia/gugatan (Pasal 40 ayat (1)), dan
- Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat gugatan (Pasal 40 ayat (6)).
Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak tersebut dilakukan tanpa surat uraian banding atau surat tanggapan dan tanpa surat bantahan. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat (Marsyahrul, 2005: 211-212).
2. Pembuktian dan Saksi
Dalam Sidang Pengadilan Pajak (Pasal 69 s/d Pasal 76) Alat bukti dapat berupa:
- Surat atau tulisan;
- Keterangan ahli;
- Keterangan para saksi;
- Pengakuan para pihak; dan/atau
- Pengetahuan hakim.
Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas:
- Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
- Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
- Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
- Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan banding atau gugatan.
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, hakim ketua atau hakim tunggal dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. Seorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh majelis atau hakim tunggal.
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya  pembuktian diperlukan sedikitnya 2 (dua) alat bukti (Marsyahrul, 2005: 213-214).
3. Putusan Pengadilan Pajak (Pasal 77 s/d Pasal 85)
Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan dengan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak (Pasal 43 ayat (2)).
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung. Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan hakim. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh majelis, putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh hakim ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak.
Apabila majelis di dalam mengambil keputusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai berdasarkan kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat hakim anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan pengadilan pajak. Putusan pengadilan pajak dapat berupa:
- Menolak,
- Mengabulkan sebagian atau seluruhnya,
- Menambah pajak yang harus dibayar,
- Tidak dapat diterima,
- Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung,
- Membatalkan.
Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat banding diterima. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat gugatan diterima. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu 12 (dua belas) bulan diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
Dalam hal-hal khusus, jangka waktu dalam angka 6 (enam) bulan diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam hal gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan pajak, tidak diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, pengadilan pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksud dilampaui.
Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak tertentu dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu, yakni:
30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan banding atau gugatan dilampaui;
30 (tiga puluh) hari sejak banding atau gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.
Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan muatan putusan pengadilan pajak berupa membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.
Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang pengadilan pajak, berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat banding atau surat gugatan diterima. Dalam hal putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak, pemohon banding atau penggugat dapat mengajukan gugatan kepada peradilan yang berwenang.
Putusan pengadilan pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan di atas, putusan pengadilan pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan pengadilan pajak harus memuat:
1) Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
2) Nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari pemohon banding atau penggugat;
3) Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;
4) Hari, tanggal diterimanya banding atau gugatan;
5) Ringkasan banding atau gugatan, dan ringkasan surat uraian banding atau surat tanggapan, atau surat bantahan yang jelas;
6) Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dalam hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
7) Pokok sengketa;
8) Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
9) Amar putusan tentang sengketa;
10) Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan di atas menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.
Ringkasan banding/gugatan/SUB/ST tidak diperlukan dalam hal putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak yang diperiksa dengan acara cepat karena putusan pengadilan pajak tidak memenuhi syarat muatan dan bukan wewenang pengadilan pajak. Putusan pengadilan pajak harus ditandatangani oleh hakim yang memutuskan dan panitera.
Apabila hakim ketua atau hakim tunggal yang menyidangkan berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh ketua dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim ketua atau hakim tunggal. Sedangkan apabila hakim anggota berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh hakim ketua dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim anggota dimaksud. Pada setiap pemeriksaan, panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesutau yang terjadi dalam persidangan. Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua atau hakim tunggal dan panitera dan apabila salah seorang dari mereka berhalangan, alasan berhalangannya itu dinyatakan dalam beriata acara sidang.
Apabila hakim ketua atau hakim tunggal dan panitera berhalangan menandatangani, berita acara sidang ditandatangani oleh ketua bersama salah seorang panitera dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim ketua atau hakim tunggal dan panitera.
4. Pelaksanaan Putusan (Pasal 86, 87, 88)
Putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan berlaku.
Salinan putusan atau salinan penetapan pengadilan pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak hari tanggal putusan sela diucapkan. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pajak dalam jangka waktu dimaksud dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.
5. Peninjauan Kembali (PK)
a. PK ke Mahkamah Agung (Pasal 89)
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan pajak. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
b. Hukum Acara PK (Pasal 90)
Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang perpajakan.
c. Alasan PK (Pasal 91)
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan, antara lain: (1) Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, (2) Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda (3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, kecuali yang putusannya mengabulkan sebagian/seluruh/menambah pajak yang harus dibayar (Pasal 80 ayat (1) b, c,), (4) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya (5) Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.
d. Jangka Waktu Pengajuan PK (Pasal 92)
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
e. Putusan Mahkamah Agung (Pasal 3)
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan, sebagai berikut: (1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa, (2) Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat. Putusan atas permohonan peninjauan kembali tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

C. Peradilan Pajak di Indonesia
Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan adminitrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan adminitrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat admintarsi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum admintrasi.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Paal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang keuasaan kehakiman tertinggi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Dari UUD 1945 tersebut di atas menggabarkan bahwa dalam system peradilan di Indonesia kekuasaan tertinggi yang menyelenggarakan peradilan dipegang oleh keuasaan kehakiman dan dipimpin oleh Mahkamah Agung.
Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :
1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 25.
2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan yang berada di lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002, pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. 
Pasal 2 UU PP mengandung arti bahwa Pengadilan Pajak merupakan instrumen yang dapat digunakan sebagai sarana bagi pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan, yaitu untuk melindungi kepentingan waib pajak, dengan kaitannya dalam hubungan antara para pihak yang bersengketa di pengadilan pajak. Dimana di dalamnya melibatkan pemerintah selaku fiskus dan rakyat selaku wajib pajak atau penanggung pajak.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sengketa pajak yang dijadikan objek sengketa adalah keputusan atau tindakan pemerintah yang tercermin dari keputusan atau tindakan dari Pejabat pada jajaran Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai maupun pejabat yang berwenang lainnya yang dipermasalahkan oleh rakyat selaku wajib pajak atau penanggung pajak.
Jadi fungsi pengadilan pajak di sini adalah sebagai suatu badan peradilan yang memeberikan perlindungan bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak yang dialaminya.  Dalam penjelasan UU pengadilan pajak juga disebutkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib pajak, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya Sengketa pajak antara Wajib Pajak dan pejabat yang berwenang.

BAB III
KESIMPULAN

- Istilah peradilan, khususnya di bidang pajak, lebih tertuju kepada mekanisme pemberian keadilan dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa pajak yang dilakukan melalui lembaga yang ada (meski tidak bernama peradilan). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan konstelasi sistem peradilan di Indonesia seperti sekarang ini, pembicaraan tidak hanya terbatas pada lingkungan peradilan seperti apa secara eksplisit disebut dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebgaimana telah dicabut dan diganti dengan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, melainkan juga mekanisme di luar itu seperti melalui upaya keberatan (hakim doeleansasi) juga menjadi bahan uraian
- Persidangan di pengadilan pajak, Menurut Marsyahrul (2005:208) Dalam persidangan di pengadilan pajak semua orang yang terlibat harus ada di dalam ruangan pengadilan bersama dengan petugas peradilan pajak. Adapaun petugas di pengadilan pajak terdiri dari ketua, wakil ketua, dan hakim adalah ketua, dan hakim pada pengadilan pajak. Serta harus dipersiapkan berbagai macam persiapan seperti administrasi kelengkapan yang dibutuhkan dan sebagainya.
- Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan adminitrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan adminitrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat admintarsi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum admintrasi


Daftar Pustaka

Mustafa, Bachsan. 1979. Pokok-pokok hukum Adminitrasi Negara. Bandung: Alumni
Pudyatmoko, Y Sri. 2005. Pengadilan dan Penyelsaian sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama
Marsyahrul, Toni 2005. Pengantar Perpajakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Sunindha, Yw Dan Ninik Widiyanti. 1990. Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Jakarta: Rineka Cipta 
Basri, Hasan.  2009. Kedudukan Dan Fungsi Peradilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Jurnal Hukum Academia Vol. 5

Komentar

Postingan Populer