PENGERTIAN RIBA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam dunia perekonomian sudah tidak asing lagi dengan permasalah riba, dikarena dalam dunia ekonomi riba adalah pembagian hasil atau penambahan hasil  yang tidak baik terutama bagi syari’at islam karena riba merupakan hasil pendapatan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil, riba merupakan masalah ekonomi yang sejak dulu  telah berkembang pada jaman jahiliah sampai sekarang yang terjadi di masyarakat sudah menjadi mendarah daging.
            Di era sekarang ini umat islam sebagian besar tidak dapat menghindari dirinya dari bermuamalah dengan bank konvesional yang memakai suku buga dalam berbagi transaksi, Banyaknya masyarakat mengganggap bank kovesional bisa membantu dalam masalah perekomonian masyarakat. sejak datangnya islam pada masa rosulloh saw islam telah melarang adanya riba.
            Pada saat itu sampai sekarang, perlu adanya pemahaman yang luas agar tidak masuk ataupun terjerumus kedalam riba, dikerenakan riba bisa menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarkat secara menyeluruh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Riba ?
2.      Apa keterkaitan Surat albaqoroh ayat 275 sampai 276 dalam riba  ?
3.      Hadis Ahmad dan buhokri ?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian riba pebedaannya bengan bunga bank.
2.      Mengetahui jenis atau macam-macam riba.
3.      Mampu mengetahui pengerian ayat dan hadits tentang riba.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Riba
riba adalah salah satu penjelsan yang tidak pernah habisnya disetiap zaman pada ekonomi islam riba di indektikan dengan sesuatu yang bersipat desktruktif atau merusak, riba secara bahasa ziadah ( tambahanan )[1] dalam pengerian lain, secara ligustis, riba juga berarti tumbuh dan membesar[2]. Adapun menurut istilah teknis riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada yang berpendapat bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meinjam secara batil atau bertentangan dangan prinsip mualamalah dalam islam.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak. [3]
Riba yaitu suatu tambahan atau peningkatan secara batil maka dari itulah riba dilarang oleh al-qur’an dan asunnah dikarenakan bisa merugikan orang lain yang di beri tambahan tersebut
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.[4]
Timbullah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.[5]
B.     Jenis jenis Riba[6]
·         Riba Qordh (ربرر قرقض )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadapat yang berutang (muqtaridh).
·         Riba Jahiliyyah (ربر  قرا ليهر)
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
·         Riba Fadhl (ربر  قرضلر )
Pertukaran antara barang sejenis dangan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·         Riba Nasi”ah (ربر  قرسئرر )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahaan, atau tambahan atara yang diserahkan saat ini dan diserahkan kemudian.


C.     Ayat-ayat dan hadits tentang riba
Qs. Al-Baqarah Ayat 275-276 [7]
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦
Artinya: Orang-orang yang makan  (mengambil) riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang memasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) (275). Allah memusnakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276).
            Dari kandungan ayat-ayat Al Quran dan sabda Rosulullah diatas para ulama fiqih mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi pada situasi-situasi tertentu menurut imam al-syatibu fakar fiqih maliki hukumnya boleh berubah menjadi wajib, imam syitibi memberi conto ketika terjadi praktik ihktikar (penimbunan barang sehingga stock hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihktiyar dan mengakibatkan melonjak harga barang yang di timbun dan disimpan itu, maka menurutnya pihak pemerintah boleh memaksa pedagan untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelumnya terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsib al syatibi bahwa mubah itu apabila ditinggalkan secara total maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan baikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan para pedagang ini wajib melaksakananya demkian pula dalam kondisi-kondisi yang lainnya.  
  • Riba Termasuk Dosa Besar
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No. 6351).
Hadist di atas menjelaskan bahwa kita harus menjauhi tujuh ( 7 ) perkara salah satu nya yaitu harus mejauhi riba dikarena perkara itu yang bisa membinasakan maksudnya riba bisa membinasakan dikarenakan bisa merugikan orang lain yang diberatkan bagi penerimanya dan allah mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain dan adanya unsur ketidakadilan
  • Riba lebih buruk dari 36 kali zina
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلَائِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, yang dimandikan oleh para malaikat, ia berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang sementara ia mengetahuinya, itu lebih buruk dari tigapuluh kali berzina.” (HR. Ahmad)
al-Haitsami mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Thabrani dan perawi Ahmad adalah perawi sahih.[8]Menurut al-Bani hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Daraqutni dan Ibn Syakir beliau mengatakan haditsnya sahih.[9]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Transaksi riba biasanya sering terjadi dan ditemui dalam transaksi hutang  piutang dan jual beli. Hutang piutang merupakan transaksi yang rentan akan riba,  dimana kreditor meminta tambahan kepada debitor atas modal awal yang telah  dipinjamkan sebelumnya. batil, karena sama-sama mengandung bunga (interest)  uang, maka hukumnya sama pula.
Sejak pra-Islam riba telah dikenal bahkan sering dilakukan dalam kegiatan  perekonomian sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad saw riba mulai dilarang  dengan turunnya ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan larangan akan riba, ayat tersebut turun sesuai dengan masa dan periode turunnya sayat sampai ada ayat  yang melarangnya secara tegas. Tetapi tidak hanya Islam saja yang melarang  pengambilan riba, tetapi aga,a-agama samawi juga melarang dan mengutuk pra  pelaku riba.  Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang piutang dan  riba akibat jual beli.  Kaum modernis memandang riba lebih menekankan kepada aspek  moralitas, bukan pada aspek legal formalnya, tetapi mereka (kaum modernis)  tidak membolehkan kegiatan pengambilan riba.  Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang  pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al baqarah  disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipat gandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan,  juga karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.

Daftar Pustaka
Syafii Antonio, Bank syariah,(Jakarta: 2016 )
Wasilul Chair (Riba dalam Perspektif Islam)
Mardani,Ayat-ayat dan hadis ekonomi syariah, ( depok  2014 )
Al-Haitsami, Majma Al-Zawaid Wa Manba’a Al-Fawaid,(Kairo: Maktabah al-Qudsi,1994, Jil. 4), hlm 117
Muhammad Nashiruddin al-Bani, Misykah al-Mashabih, Jil. 1 hlm. 127.   1/636


























[1] Syafii Antonio, Bank syariah,(Jakarta: 2016 ) hlm. 37.
[2] Syafii Antonio, Bank syariah,(Jakarta: 2016 ) hlm. 37.
[3] Wasilul Chair (Riba dalam Perspektif Islam)
[4] Wasilul Chair (Riba dalam Perspektif Islam)
[5] Wasilul Chair (Riba dalam Perspektif Islam)
[6] Syafii Antonio, Bank syariah,(Jakarta: 2016 ) hlm. 38.
[7] Mardani,Ayat-ayat dan hadis ekonomi syariah, ( depok  2014 ) hlm 13-20
[8]  Al-Haitsami, Majma Al-Zawaid Wa Manba’a Al-Fawaid,(Kairo: Maktabah al-Qudsi,1994, Jil. 4), hlm 117
[9]Muhammad Nashiruddin al-Bani, Misykah al-Mashabih, Jil. 1 hlm. 127.   1/636

Komentar

Postingan Populer