Permasalahan Fundamental
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Fundamental
Permasalahan fundamental yang terjadi pada Krisis
Ekonomi tahun 1998 yaitu karena utang Swasta luar negeri yang telah mencapai
jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan
sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting
yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah
krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan
yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh
temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada
serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat
ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain
perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi
bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi
juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran
ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab
lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab
ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca
berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan
nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank
Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju
ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997,
sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor
swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat
tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua
adalah kelemahan Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat
sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi
selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar
dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997.
sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari
sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan
selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance,
termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian
menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan
bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik
menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto
pada waktu itu. [1]
B. Sikap Pemerintah Dalam Menanggulangi Permasalahan
Moneter
Sebagaimana dijelaskan diatas, krisis ekonomi
Indonesia bermula dari krisis finansial. Agar krisis finansial tidak berlanjut,
berbagai upaya pemulihan untuk mencegah banyaknya pelarian modal serta
menurunnya kepercayaan internasional, dilakukan langkah-langkah antara lain:
1. Bulan
Desember 1997 menteri keuangan melakukan road show ke luar negeri untuk
meyakinkan para kreditur;
2. Untuk
mengatasi masalah hutang luar negeri dibentuk Tim Negosiasi Utang Luar Negeri
Swasta di bawah pimpinan Radius Prawiro dengan melibatkan berbagai pemimpin
Bank bertaraf internasional, seperti Bank of England, Standard Chartered Bank,
dan Bank of Switzerland East Asia;
3. Menjamin
penuh pada semua deposan dan kreditur dari semua bank umum yang berbadan hukum
indonesia, baik swasta nasional, patungan mau pun pemerintah;
4. Intervensi
BI pada pasar valuta asing dan kebijakan suku bunga SBI;
5. Dibentuknya
Front Persatuan terdiri Wakil Menteri Keuangan Jepang, Eisuke Sakakigara
bersama Menteri Keuangan Singapura, Malaysia, Australia, dan AS guna secepatnya
mengambil langkah-langkah kongkrit membantun krisis dan menyelamatkan
perekonomian Indonesia.
6. Dibentuk
Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK).
7. Dalam
rangka restrukturisasi sektor perbankan, dibentuk lembaga baru, yaitu Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Langkah ini diambil untuk memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sehingga bisa menghentikan rush
sekaligus menarik kembali dana-dana yang lari maupun diparkir di luar
negeri .
8. Karena
kepercayaan masyarakat ekonomi internasional sangat berkurang, pada bulan
Oktober 1997 secara resmi meminta bantuan IMF (Djiwandono, 1999: 52). Ide ini
didasari pemikiran bahwa India dan Korea Selatan saat mengalami krisis serupa
ternyata berhasil berkat bantuan IMF melalui precautionary arrangement.
Sesuai dengan rekomendasi IMF, pemerintah melakukan penyesuaian struktural
untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Langkah-langkah yang direkomendasi
IMF adalah (Ismawan, 1997):
a. Mempercepat
skenario penurunan secara bertahap tarif bea masuk. Bea masuk untuk produk
kimia, besi/baja dan produk-produk perikanan harus diturunkan sehingga menjadi
5-10% pada tahun 2003. Mulai 1 Januari 1998, sebagian besar tarif produk kimia
dikurangi dari 10-20% menjadi 5%. Sementara itu sebagian besar tarif besi/baja
diturunkan mulai 1 Januari 1999. Penurunan bea masuk produk kimia dan besi/baja
memiliki makna strategis dalam konteks penghapusan struktur pasar monopolistik.
Hal yang sama tampak pada rekomendasi IMF agar penetapan harga pedoman setempat
(HPS) komoditas semen dihapus dalam waktu dekat.
b. Melonggarkan
tata niaga berbagai komoditas pokok seperti gandum, tepung terigu, kedelai dan
bawang putih. Mulai 1 Januari 1998, barang-barang tersebut dapat diimpor dengan
bebas. Impor bawang putih dikenai bea masuk 20%, tepung terigu 10%. Tarif bea
masuk itu diturunkan menjadi 5-10% sebelum 2003. Sedangkan untuk melindungi
kosumen, pemerintah tetap memberikan subsidi tepung terigu. Apa yang
direkomendasi IMF itu linear dengan kritikan pengamat domestik mengenai
deregulasi yang belum tuntas. Selama ini komoditas pokok memang dianjurkan
untuk dilepaskan ke mekanisme pasar, namun pemerintah masih berkeberatan dengan
alasan untuk menjaga stabilitas suplai dan harga.
c. Mengurangi
secara bertahap hambatan-hambatan dan pajak ekspor. Pencapaian pertumbuhan
ekspor dari bulan Januari hingga Juli 1997 belum menunjukkan tanda-tanda
membaik. Ekspor hanya tumbuh 9,44%. Akan tetapi ekspor nonmigas lebih baik
dibandingkan migas. [2]
C. Kritik Terhadap kebijakan pemerintah
Selama ini program dan kebijakan pengelolaan krisis
dan pemulihan ekonomi dijalankan dengan menggunakan pendekatan dan resep
tradisional IMF. Meskipun mendapat kritik dari berbagai pihak, dan IMF sendiri
melakukan berbagai macam revisi dan modifikasi, esensi dari pendekatan dan obat
IMF masih tetap sama, yaitu memfokuskan segala usaha pada upaya peningkatan
kemampuan membayar utang. Untuk tujuan tersebut IMF memprioritaskan pada upaya
pengetatan fiskal dan moneter yang terutama ditujukan agar terjadi kontraksi
fiskal maupu moneter. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut terdapat beberapa
hal positif dan berguna bagi tujuan pemulihan krisis, seperti keharusan
menghapuskan segala bentuk distorsi dan perlakuan khusus dalam alokasi sumber
daya ekonomi. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang
menimbulkan resistensi terhadap implementasi program dan kebijakan-kebijakan
pemulihan ekonomi. Berbagai kasus empirik menunjukkan bahwa paket kebijakan
yang dilakukan IMF di negara sedang berkembang, nyaris identik dan bersifat
generik.
Secara umum IMF memberikan pinjaman untuk
memperbaiki posisi neraca pembayaran. Namun negara yang mendapat bantuan
tersebut harus melaksanakan kontraksi fiskal dan moneter agar tersedia surplus
untuk menjamin pengembalian utang-utang lama dan baru. Muncul beberapa kritik,
track record IMF dalam memulihkan krisis di negara –negara berkembang
relatif tidak terlalu menggembirakan.
IMF tidak banyak berperan dalam mendorong pemulihan
ekonomi yang lebih sustainable tetapi lebih banyak menciptakan
ketergantungan berkelanjutan pada sumber-sumber eksternal. Menurut Martin Khor,
resep IMF tidak berjalan baik bagi Asia karena IMF tidak memahami Asia. IMF
telah menerapkan kondisi yang tidak tepat bagi Asia karena pengalaman pemulihan
krisisnya bercermin pada pengalamannya memulihkan krisis di Amerika Latin dan
Afrika, sementara di Asia perekonomiannya ditandai tingkat inflasi dan defisit
anggaran yang tinggi serta utang sektor publik. Pengamat ekonomi dari Harvard,
Jeffrey Sachs, menyatakan IMF justru memperburuk kondisi perekonomian Asia
dengan cara menambah kepanikan yang sudah ada yaitu panic withdrawal dana-dana
di pasar.
Keraguan atas kemampuan IMF dalam memulihkan krisis
ekonomi di Asia khususnya Indonesia telah berkembang. Hal ini disebabkan karena
ramuan tradisional IMF dianggap terlalu generik, cenderung ber orientasi ke
Barat dan tidak adaptif terhadap kondisi negara setempat. Menurut Zhen Bingxi,
kepala Divisi Ekonomi Dunia pada Institut Studi Internasional di cina,
kebijakan ketat IMF yang tidak secara spesifik memperhatikan kondisi khusus
negara yang bersangkutan, membuat banyak negara lebih menderita akibat tidak
tepatnya resep IMF (Kompas, 1998). Berdasarkan pengamatan empirik tersebut,
tidak mengherankan bila kinerja perekonomian Indonesia sampai saat ini masih
belum menggembirakan.[3]
D. Kebijakan Moneter Islam Yang Dapat Diterapkan
Sektor perbankan memiliki peranan yang penting dalam
proses kebangkitan (recovery) perekonomian secara keseluruhan. Di samping
peranannya dalam penyelenggaraan transaksi pembayaran nasional dan menjalankan
fungsi intermediasi (penyaluran dana dari penabung/pemilik dana ke investor),
sektor perbankan juga berfungsi sebagai alat transmisi kebijakan moneter.
Dengan industri perbankan yang umumnya sedang mengalami kesulitan, transmisi
kebijakan moneter melalui sektor perbankan tidak berfungsi sebagaimana
diharapkan. Hal ini mengakibatkan kebijakan moneter sering kurang efektif dalam
mencapai sasaran. Dengan kerangka yang demikian, sangatlah sulit dibayangkan
format pemulihan perekonomian nasional melalui program stabilisasi ekonomi
makro apabila sektor perbankan tetap berada dalam kesulitan yang parah.[4]
Pada tahun 1998 banyak perbankan yang mengalami
gulung tikar dan hanya satu bank saja yang tidak mengalami gulung tikar yaitu, bank muamalat Indonesia bankini
merupakan bank syari’ah yang pertama di Indonesia . tentunya bank syari’ah tidk
menggunakan sistem bunga pada transaksinya hal ini, tentunya penghapusan sistem
bunga di perbankan harus dilaksanakan karena terbukti dengan berdirinya bank muamalat
Indonesia pada tahun itu membuktikan bahwa sistem bagi hasil dapat
menanggulangi krisis ekonomi di sktor perbankan. Tetapi mengingat sebagian
besar Indonesia masih menggunakan sistem
konvensional yang masih tinggi, sehingga kemungkinan besar belum terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Lilik Salamah,
"Lingkaran Krisis Ekon omi Indonesia," Masyarakat, Kebudayaan dan
Politik, Th XIV, No 2, April 2001, 65-76.
Lepi T. Tarmidi , “krisis
moneter indonesia : sebab, dampak, peran imf dan saran,” Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Maret 1999.
Dr. Syahril Sabirin, “ upaya
pemulihan ekonomi melalui strategi kebijakan moneter – perbankan dan
independensi bank indonesia.”
[1] Lepi T. Tarmidi , “krisis moneter indonesia : sebab, dampak, peran imf
dan saran,” Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999.
[2]
Lilik
Salamah, "Lingkaran Krisis Ekon omi Indonesia," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Th XIV, No 2, April 2001, 65-76.
[3]
Lilik
Salamah, "Lingkaran Krisis Ekon omi Indonesia," Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Th XIV, No 2, April 2001, 65-76.
[4]
Dr.
Syahril Sabirin, “ upaya pemulihan ekonomi melalui strategi kebijakan moneter –
perbankan dan independensi bank indonesia.”
Komentar
Posting Komentar