PERKEMBANGAN SISTEM, PERSAINGAN KETENAGAKERJAAN DAN INDUSTRI DI INDONESIA

PERKEMBANGAN SISTEM, PERSAINGAN KETENAGAKERJAAN DAN INDUSTRI DI INDONESIA

Kusnadi, Euis Nurmala Hidayat
Program Studi Ekonomi Syariah, Institut Agama Islam Darussalam, Ciamis


ABSTRACT
Labor in Indonesia begins with a period of slavery to poor citizens. Those who have capital can control underprivileged people, so that after independence, Indonesia continues to develop human resources through various education and is supported by government regulations. The development of labor competition continues to be demanded so that the human resources in Indonesia are able to compete in the face of competition in the ASEAN economic community (MEA). Government policy, supported by educational institutions and training institutions, continues to try to optimize it, so that existing human resources can be engineered and reduce unemployment.
Keywords: Employment, Industry


ABSTRAK
Ketenagakerjaan di Indonesia di awali dengan masa perbudakan kepada warga masrsyarakat miskin. Mereka yang memiliki modal bisa mengendalikan orang-orang yang kurang mampu, sehingga setelah kemerdekaan, Indonesia terus berusaha mengembangkan sumberdaya manusia melalui berbagai pendidikan dan didukung dengan regulasi dari pemerintah. Perkembangan persaingan tenaga kerjapun terus dituntut supaya sumberdaya manusia yang ada di Indonesia mampu bersaing dalam menghadapi persaingan masyarakat ekonomi asean (MEA). Kebijakan pemerintah dengan didukung oleh lembaga pendidikan serta lembaga pelatihan terus berusaha mengoptimalisasikanya, supaya sumberdaya manusia yang ada bisa berdayasaing dan menurunkan angka pengangguran.
Kata Kunci: Ketenagakerjaan, Industri.


PENDAHULUAN
Negara Indonesia meruapakan negara berkembang, sehingga membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang mampu mengelola negara serta sumberdaya alam yang tersedia didalamnya. Akan tetapi hal tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan warga negara dalam meningkatkan sumberdaya manusia yang mampu berdaya saing, dimana dengan perkembangan tekonologi yang semakin cepat dalam hitungan detik, sehingga membutuhkan banyak faktor pendukung.
Faktor pendukung tersebut  bisaberupa  ketersediaan peralatan ataupun regulasi dan kebijakan dari pemerintah, yang mendukung dalam pengembangan sumberdaya manusia yang mampu berdaya saing dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Persaingan yang semakin luas membuat tingkat pengangguran dari warga negara semakin tinggi pula, sehingga warga negara yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tanpa memiliki keahlian, otomatis akan terancam menjadi pengangguran. Serta di tambah dengan pola berpikir yang menganggap bahwa tenaga kerja asing jauh lebih baik, lebih ahli dari pada kami selaku warga negara. Maka pola berpikir yang harus dirubah dengan di tambah oleh tingkat pendidikan yang tinggi yang menjadi salah satu solusinya.
Permasalahan ketenagakerjaan sering berdampak pada pengangguran serta berpotensi sampai menambah angka kemiskinan. Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi penulis yang berusaha memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi negara ini, sehingga bukan hanya pemerintah tetapi warga negarapun ikut berpartisipasi dalam memecahkan problema yang ada. Karena jika dari tahun ke tahun angka kemiskinan akibat dari pengangguran yang semakin tinggi maka negara indonesia akan semakin tertinggal.
Untuk menangulangi permasalahan di atas. Maka penulis berusaha memecahkannya dengan berbagai pembahasan, di antaranya adalah sebagai berikut: Sejarah Ketenagakerjaan dan Intervensi Pemerintah di Bidang Ketenaga Kerjaan, Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia, Problematika Ketenagakerjaan di Indonesia, Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja dalam Menghadapi masyarakat ekonomi asean (MEA), Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).


A. SEJARAH KETENAGAKERJAAN DAN INTERVENSI PEMERINTAH DI BIDANG KETENAGAKERJAAN
Riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni jaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi. Perbudakan adalah suatu peristiwa di mana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain. Para budak tidak mempunyai hak apa-apa termasuk hak atas kehidupannya. Para budak hanya memiliki kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang diperintahkan tuannya. Terjadinya perbudakan jaman dahulu disebabkan karena para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi kuat membutuhkan orang yang dapat mengabdi kepadanya, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan secara ekonomi cukup banyak yang disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hubungan perburuhan dimulai dari peritiwa pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkekuatan secara sosial ekonomi atau penguasa .
Melihat kondisi di atas untuk menghindarkan perilau sewenang-wenang terhadap buruh/pekerja maka diperlukan peraturan di bidang ketenagakerjaan. Pemerintah pun mulai meningkatkan perhatiannya terhadap nasib pekerja dengan intervensi di bidang ketenagakerjaan. Lalu Husni (2009: 10-13) menyebutkan bahwa intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan terletak pada UUD 1945 pasal 27 yaitu jaminan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Selain itu juga pada pembukaan UUD 1945 alinea ke empat yang berupa tujuan negara Republik Indonesia yang setidaknya terdapat empat tujuan bernegara yaitu:
1. Protection function: negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2. Welfare function: negara wajib mewujudkan kesejahteraan umum,
3. Educational function: negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa,
4. Peacefullness function: menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat baik ke dalam maupun ke luar.
Tujuan intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil, karena peraturan perundang-undangan perburuhan memberikan hak-hak bagi pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah dan lain sebagainya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha/majikan yakni kelangsungan hidup perusahaan .

B. KONDISI KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
1. Pengertian Tenaga Kerja
Menurut UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam batas usia kerja. Tenaga kerja disebut juga golongan produktif. Tenaga kerja seperti yang telah dikemukakan di atas dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok angkatan kerja dan kelompok bukan angkatan kerja.
Untuk keperluan analisis ketenagakerjaan, penduduk suatu Negara dipilah-pilah dalam berbagai kelompok. Konsep pemilahan penduduk dibagi menjadi dua yaitu pemilahan penduduk berdasarkan pendekatan angkatan kerja dan berdasarkan pendekatan pemanfaatan tenaga kerja .
2. Keadaan Tenaga Kerja di Negara-Negara Berkembang
Sebagian besar penduduk di negaranegara berkembang berada dalam keadaan yang ditandai dengan “kemiskinan massal”. Pertumbuhan penduduk yang dialami oleh negara-negara berkembang sangat cepat laju pertumbuhannya. Sehingga hal tersebut merupakan faktor dinamika yang paling penting, sebab faktor penduduk mempengaruhi serta menentukan arah perkembangan suatu negara di masa yang akan datang. Pertumbuhan penduduk merupakan masalah pokok dalam pembangunan ekonomi. Pengaruh pertambahan penduduk ini terlihat pada pengadaan kebutuhan-kebutuhan pokok secara total harus ditambah terutama pengadaan pangan dan mengakibatkan naiknya angkatan kerja. Apabila jumlah penduduk tumbuh sama cepat dengan pendapatan nasional, maka pendapatan per kapita tidak bertambah .
Salah satu implikasi yang menonjol dalam masalah pertumbuhan penduduk di Negara-negara berkembang yaitu angkatan kerja produktif harus menanggung beban yang lebih banyak untuk menghidupi anggota keluarga secara proporsional jumlahnya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan yang ada di Negara-negara maju. Artinya, Negara-negara berkembang tidak hanya dibebani oleh tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi tetapi juga angkatan kerjanya harus menanggung beban ketergantungan yang lebih berat.
Bagi negara-negara berkembang pada umumnya mengalami ledakan angkatan kerja, namun gelombang pekerja yang belum ada tarafnya sekarang sedang memasuki pasaran kerja, tetapi tidak diikui dengan peningkatan lowongan kerja yang baru. Sehingga pengangguran di kota-kota dan di desa-desa semakin meningkat terus. Pengangguran yang terjadi di negaranegara berkembang disebabkan oleh banyaknya penduduk usia produktif yang kurang memiliki keahlian dalam bekerja dengan didukung oleh sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia.
Sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang bekerja di daerah pedesaan. Lebih dari 65% penduduknya tinggal secara permanen bahkan turun-temurun. Demikian pula sekitar 58% angkatan kerja di Negara-negara berkembang mencari nafkah di sektor pertanian yang menyumbang GNI sebesar 14% .

C. PROBLEMATIKA KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Saat ini, jumlah lapangan pekerjaan di In¬donesia masih belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang berakibat masih adanya pen¬gangguran baik itu pengangguran yang terdidik maupun tidak terdidik. Hal tersebut juga dipen¬garuhi adanya krisis global yang mengakibatkan produksi barang/jasa perusahaan mengalami pe-nurunan yang berdampak langsung pada pengu¬rangan jumlah tenaga kerja.
Belum seimbangnya permintaan dengan penawaran tenaga kerja serta penurunan pro-duktivitas secara langsung akan mengurangi kesempatan kerja bagi angkatan kerja. Adanya pertumbuhan ekonomi yang diklaim beberapa tahun terakhir meningkat 6,4 persen di kuartal II ternyata tidak berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut sejalan dengan perny¬ataan dari Muhaimin Iskandar : “Namun tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dapat me¬nyerap angkatan kerja yang masuk ke dalam pa¬sar kerja dan jumlah penganggur yang telah ada.” Oleh sebab itu yang mempengaruhi kesempatan kerja adalah permintaan tenaga kerja dan pro¬duktivitas rumah tangga produsen.
1. Perubahan Industri dari Padat Karya men¬jadi Padat Modal
Tidak dapat dipungkiri bahwa Industri¬lisasi sudah menjadi bagian dari perekonomian Indonesia. Hal ini juga identik dengan perkem¬bangan teknologi yang akan merubah pola yang sudah terbangun. Seperti pada dunia Industri saat ini, banyak perusahaan yang lebih memilih menggunakan pola padat modal daripada padat karya dengan berbagai pertimbangan.
Investasi yang menjorok pada padat modal akan menjadi ancaman bagi tenaga kerja Indone¬sia karena akan memperkecil kesempatan kerja. Hal tersebut juga akan menambah jumlah pen¬gangguran dalam negeri. Oleh sebab itu, untuk negara berkembang seperti Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara, investasi dengan sistem padat modal akan men¬gancam tenaga kerja.
2. Globalisasi arus barang dan jasa
Permasalahan ini juga terkait dengan bi¬dang ketenagakerjaan. Pada MEA 2015 tenaga kerja asing dapat bebas keluar masuk Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kemenakertrans RI Reyna
Usman saat membacakan sambutan Menakertrans Muhaimin Iskandar di acara UI Career & Scholarship Expo XV 2013.”Suatu ne¬gara tidak dapat begitu saja menolak masuknya tenaga kerja asing apabila telah masuk dalam aturan perdagangan dunia, yang telah disepakati secara bilateral maupun multilateral,”
Ketika kita telah menyetujui adanya masy¬arakat ekonomi ASEAN ini, nantinya Indonesia juga akan dibanjiri produk luar negeri. Apabila produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk luar negeri maka tenaga kerja Indonesia juga akan terancam. Menurunnya produktivitas rumah tangga produsen membuat mereka cen-derung mengurangi biaya produksi, yang dapat diartikan mengurangi jumlah tenaga kerja. Inilah yang menjadi ancaman bagi tenaga kerja Indo¬nesia.
3. Penetapan upah minimum
Saat ini upah menjadi polemik antara pen¬gusaha dengan tenaga kerja atau buruh. Belum ada kesepakatan mengenai upah minimum te¬naga kerja karena berbagai hal. Perusahaan ma¬sih keberatan dengan upah minimum yang telah ditetapkan sedangkan buruh menuntut adanya kenaikan upah/gaji. Meskipun pemerintah telah memutuskan menaikkan upah minimum tetapi perusahaan belum membayar upah sesuai den¬gan ketentuan tersebut.
Upah tenaga kerja akan mempengaruhi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Keti¬ka tenaga kerja menginginkan upah yang besar perusahaan cenderung merubah sistem produksi dengan padat modal namun ketika upah tenaga kerja tidak ditingkatkan kesejahteraan tenaga kerja juga sulit ditingkatkan. Inilah yang menja¬di masalah kompleks tenaga kerja. Namun, me¬nurut Mankiw, teori upah efisiensi mengajukan penyebab ketiga dari kekakuan upah selain UU upah minimum dan pembentukan serikat peker¬ja, teori ini menyatakan bahwa :
a. Upah yang tinggi akan membuat pekerja semakin produktif.
b. Upah yang tinggi akan menurunkan per¬putaran tenaga kerja.
c. Kualitas rata-rata dari tenaga kerja perus¬ahaan tergantung pada upah yang dibayar kepa¬da karyawan.
d. Upah yang tinggi meningkatkan upaya te¬naga kerja.
Dari teori mankiw tersebut, setidaknya dapat dipertimbangkan oleh rumah tangga pro¬dusen dalam menentukan upah minimum tenaga kerja karena menaikkan upah minimum tenaga kerja bukan berarti merugikan rumah tangga pro¬dusen karena dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
4. Rendahnya Kualitas SDM
Rendahnya kualitas tenaga kerja tentu akan mempengaruhi daya saing dari tenaga ker¬ja itu sendiri, seperti yang dimuat dalam suara pembaharuan yang diakses tanggal 15 April 2013 bahwa World Economic Forum (WEF) dalam surveinya pada 2010 mencatat, peringkat daya saing Indonesia di posisi 44. Posisi itu di bawah sejumlah negara pesaing utama kita di Asia Teng¬gara, seperti Singapura di peringkat 3, Malaysia (26), dan Thailand (38). Daya saing Indonesia juga di bawah macan ekonomi global Tiongkok di posisi 27.
Rendahnya kualitas tenaga kerja dipen¬garuhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Dan menurut data Badan Pusat Statistik bahwa pada tahun 2012 bulan agustus jumlah pengangguran terbuka dari seluruhnya 7.244.956 jiwa, pen¬gangguran terbuka pada tingkat SLTA (umum) mencapai 1.832.109 jiwa. Tentu hasil survey ini cukup memprihatinkan ketika pendidikan SLTA/sederajat dirasa telah cukup untuk men¬jadi bekal mereka bekerja ternyata penyerapan dalam dunia kerja masih kurang besar.
5. Ketakutan Tenaga Kerja Indonesia Meng¬hadapi Tenaga Kerja Asing
Masalah yang lain bagi tenaga kerja Indo¬nesia adalah kurang percaya dirinya mereka apa¬bila berhadapan dengan tenaga kerja asing. Gam¬baran mengenai tenaga kerja asing yang lebih handal, cerdas, dan berkompetensi membuat te¬naga kerja Indonesia merasa kecil hati. Sikap dan mental dari tenaga kerja inilah yang juga harus diperbaiki supaya dalam menghadapi MEA ini, masyarakat Indonesia khususnya tenaga ker¬ja maupun angkatan tenaga kerja tidak ragu dan merasa kurang daripada tenaga kerja asing.
Pemerintah juga telah berusaha agar ke¬resahan masyarakat Indonesia dalam mengha¬dapi MEA tidak menjadi suatu ketakutan yang luar biasa. Telah ada aturan yang mengatur tenaga kerja asing di Indonesia yaitu Keputusan Menakertrans Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang Didu¬duki Tenaga Kerja Asing. Aturan yang mengacu pada Pasal 46 Undang- Undang Ketenagakerjaan ini bertujuan mengantisipasi globalisasi sektor jasa atau tenaga kerja pada masa depan. Adanya peraturan tersebut sedikit membuat tenaga kerja kita terlindungi .

D. Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja dalam Menghadapi  MEA
Pengaruh MEA 2015 Terhadap Ketenaga¬kerjaan Indonesia. Sesuai dengan kerjasama di bidang eko¬nomi yang diatur dalam Komunitas ASEAN, nantinya pasar barang, jasa dan investasi dapat secara bebas bergerak tanpa batasan geografis. Khususnya pada tenaga kerja, MEA 2015 pasti akan berdampak langsung pada ketenagakerjaan Indonesia.
Secara teoritis, liberalisasi dalam pasar barang, jasa, modal dan tenaga kerja akan me-ningkatkan produktivitas tenaga kerja, karena akan menciptakan kondisi yang mendorong pe¬rusahaan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya secara lebih efisien.
Adanya mobilitas tenaga kerja yang tanpa batas, tentu akan membuat kesempatan kerja bagi angkatan kerja semakin luas dengan cakupan wi¬layah yang luas pula. Tenaga kerja bisa bebas me¬milih jenis pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan dan perusahaan juga dapat memilih te¬naga kerja yang sesuai dengan spesifikasinya.
Namun, jangan hal tersebut membuat ma¬syarakat Indonesia bersenang dulu karena justru ketika pasar barang dan jasa itu dimulai tanpa kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas kita hanya akan menjadi penonton kesuksesan di negeri sendiri. Seperti yang saat ini terjadi, jumlah pekerja migrant yang besar dari Indone¬sia cenderung didominasii oleh pekerja dengan keahlian rendah (low-skilled).
MEA 2015 juga menuntut tenaga kerja Indonesia mempunya keahlian yang lebih dari rata-rata agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara tetangga. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kualitas dari tenaga kerja Indonesia.
1. Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja In¬donesia
Dari masalah-masalah yang dihadapi te¬naga kerja Indonesia, maka perlu adanya perbai¬kan dan penyempurnaan dari hal-hal yang telah ada. Kembali kepada daya saing tenaga kerja Indonesia, tentu harus ada perbaikan mutu atau kualitas dari tenaga kerja itu sendiri. Harus ada nilai lebih yang ditawarkan oleh tenaga kerja Indonesia kepada penyedia kerja agar dapat diper¬timbangkan di pasar lokal maupun global bukan sebagai TKI dengan kemampuan rendah.
Agar tenaga kerja Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi maka perlu adanya kore¬lasi antara input penunjang tenaga kerja, yang digambarkan sebagai berikut :











Dari gambar tersebut kita akan mempe¬roleh gambaran mengenai korelasi antara input penunjang tenaga kerja yang diuraikan sebagai berikut :
a. Kesehatan
Kesehatan merupakan komponen sumber daya manusia yang paling mendasar. Hal ini di¬sebabkan oleh suatu pemikiran bahwa tidak akan ada gunanya atau kurang berguna pendidikan se¬seorang apabila dalam keadaan yang tidak sehat.
Segala gagasan, kreativitas dan produktivi¬tas yang maksimal berawal dari kesehatan. Apa¬bila penduduk Indonesia dalam keadaan yang tidak sehat maka daya saing dalam dunia kerja juga tidak akan maksimal. Maka perlu adanya peningkatan kesehatan bagi penduduk Indonesia agar produktivitasnya dapat maksimal.
Peningkatan kesehatan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan mengenai kes¬ehatan. Pendidikan akan menjadi tindakan pre¬ventif dalam kesehatan karena dengan penge¬tahuan tersebut masyarakat dapat hidup sehat.  Hidup sehat tersebut yang jangka panjangnya akan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indo¬nesia karena secara fisik tenaga kerja Indonesia akan kuat.
Kesehatan juga dikaitkan dengan kesejah¬teraan. Ketika kesejahteraan tidak merata yang mengakibatkan ketimpangan sosial, masyarakat golongan menengah kebawah atau kategori mis¬kin akan sulit untuk menjaga kesehatan. Sulitnya menjaga kesehatan atau mengobati sakitnya akan berdampak pada kurang maksimalnya produkti¬vitas mereka yang akan berdampak pada penu¬runan pendapatan. Hal ini apabila dibiarkan ber¬kelanjutan akan menjadi perputaran kehidupan yang tidak aka nada peningkatan atau dikenal dengan istilah the vicious circle of pourty. Sehingga kesehatan juga berpengaruh pada perekonomian. Oleh karena itu, perbaikan kesehatan masyarakat harus diperhatikan untuk membangun generasi yang kompetitif.
b. Pendidikan
Hasil penilitian memperlihatkan adanya hubungan positif antara derajat pendidikan den¬gan kehidupan ekonomi, dimana semakin tinggi derajat pendidikan seseorang maka semakin ting¬gi pula derajat kehidupan ekonominya. Terhadap permasalahan ini ternyata banyak bukti yang menunjukkan bahwa antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi, yaitu bahwa pertumbuhan pendidikan mempengaruhi per¬tumbuhan ekonomi dan sebaliknya, pertumbu¬han ekonomi mempengaruhi petumbuhan pendi¬dikan.
Pendidikan juga masih ada kaitannya den¬gan kesehatan, yaitu pendidikan seseorang yang semakin tinggi akan memungkinkan seseorang menjadi sehat. Dan hal ini, tentu perlu campur tangan dari pemerintah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa mengenyam pendidikan agar kehidupannya lebih baik.
Kaitannya dengan tenaga kerja, ketika pendidikan dari tenaga kerja semakin tinggi maka kesempatan kerja juga semakin besar. Pendidikan juga akan memberikan akreditasi professional bagi tenaga kerja sehingga jangka panjangnya te¬naga kerja Indonesia lebih diperhitungkan oleh penyedia kerja di pasar lokal maupun global.
Pendidikan dapat dilakukan melalui pen¬didikan formal, pendidikan informal maupun pelatihan. Pendidikan sebaiknya menggunakan pendekatan kebutuhan dunia kerja agar manfaat dari ilmu tersebut dapat langsung dirasakan oleh angkatan kerja. Hal tersebut juga perlu dukungan dari teknologi dan komunikasi yang baik. Per-siapan tersebut tentu dapat meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
c. Komunikasi
Komunikasi adalah hal yang penting bagi kehidupan. Segala sesuatu dimulai dari komuni¬kasi. Komunikasi yang baik akan meningkatkan produktivitas dan komunikasi yang buruk akan mengurangi kemauan seseorang untuk bekerja sama.
Dengan dimulainya MEA 2015 akan ada masalah dalam komunikasi karena bahasa dari tiap-tiap negara berbeda. Khususnya pada tenaga kerja, hal ini akan sedikit berat ketika mereka ti¬dak mampu berbahasa asing. Oleh karena perlu dilakukan pembinaan kepada tenaga kerja kita dalam berbahasa asing untuk memperlancar ko-munikasi mereka, salah satunya dengan :
1) Program Ragam Bahasaku Besar Kesem¬patanku
Ini adalah suatu program yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa asing bagi tenaga kerja/penduduk Indonesia. Hal ini sangat diperlukan karena pada MEA 2015 kita akan berhadapan dengan penduduk dari berbagai negara. Sehingga, jangan sampai bahasa menjadi penghalang bagi kita dalam ber-komunikasi.
Program ini sebaiknya dilakukan secepat mungkin agar kita mempunyai daya saing apabila berhadapan dengan tenaga kerja asal Singapura atau Malaysia. Selain meningkatkan daya saing penguasaan bahasa asing dapat mempermudah komunikasi kita yang akan berdampak kepada bertambahnya kesempatan kerja bagi tenaga ker¬ja Indonesia di pasar global.

d. Teknologi
Di era globalisasi, Teknologi dianggap sebagai teman keseharian. Hal itu disebabkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya akan selalu menggunakan teknologi meskipun tekno¬logi yang digunakan masih sederhana. Itu juga berlaku bagi tenaga kerja karena mereka selalu menggunakan teknologi dalam menyelesaikan perkerjaan.
Perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseo¬rang pada suatu teknologi pada jangka waktu tertentu Oleh sebab itu perlu adanya sistem yang mengup-date mengenai teknologi terkini yang dapat dipelajari tenaga kerja. Hal tersebut dilaku¬kan agar tenaga kerja mampu mengup-date keah¬lian mereka sehingga daya saing mereka juga akan meningkat .

E. Optimalisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Pembentukan pasar tunggal ASEAN memiliki potensi untuk membuka peluang yang seluas-luasnya bagi Indonesia, apabila dapat mempersiapkan dengan sebaik-baiknya segala potensi yang ada seperti, luas wilayah, populasi dan SDM yang begitu besar, serta Sumber Daya Alam yang begitu melimpah dibandingkan Negara lain yang ada di kawasan. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya dipersiapkan oleh Indonesia adalah mempersiapkan kualitas SDM. Tenaga kerja Indonesia harus dapat meningkatkan kompetensi atau keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar kompetensi atau MRAs yang telah disetujui. Perundingan liberalisasi sector jasa menghasilkan empat cara penghilangan hambatan ketersediaan jasa dari penyedia jasa kepada pengguna jasa. Salah satu caranya adalah melalui mode ke-4 berupa perpindahan fisik tenaga kerja (movement of natural persons) antar Negara ASEAN yang akan diberlakukan untuk sector prioritas. Indonesia harus dapat mempersiapkan sebaik mungkin dan meningkatkan kualitas tenaga kerjanya sehingga bias digunakan baik di dalam negeri maupun di Negara-negara kawasan ASEAN, untuk mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar.
Berdasarkan data BPS jumlah angkatan kerja di Indoesia yang mencapai 125,3 juta orang pada Februari 2014, berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk dan angkatan kerja yang tinggi menjadikan arus bebas tenaga kerja merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia dalam menghadapi MEA. Peluang tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dalam mengurangi pengangguran jika tenaga kerja local kita dapat bersaing dengan tenaga kerja terampil yang ada di kawasan ASEAN, bahkan tenaga kerja kita dapat mencari peluang kerja di Negara lain yang ada di kawasan ASEAN. Akan tetapi hal tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah maupun swasta apabila tenaga kerja terampil yang masuk ke Indonesia dari Negara ASEAN lainnya.
Peningkatkan pemberian pelatihan bagi  tenaga kerja baik bagi pemerintah maupun  pihak swasta/perusahaan baik dalam peningkatan keterampilan harus disesuaikan dengan standar kualifikasi atau MRAs yang telah disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN.
Salah satu bentuk nyata adalah optimalisasi kegiatan pelatihan kerja sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaga Kerja) untuk pengadaan pelatihan kerja guna meningkatkan kualitas SDM tenaga kerja Indonesia, hal tersebut diatur dalam Bab Kelima UU Tenaga Kerja terkait pemberian pelatihan kerja. Pentingnya pelatihan kerja adalah membekali, meningkatkan, mengembangkan seseorang dari yang belum mampu menjadi mampu untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai persyaratan pekerjaan yang ditetapkan sehingga meningkat produktivitasnya yang pada akhirnya akan berdampak kepada penerimaan penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya maupun keluarganya.
UU Tenaga kerja mengamanatkan pula dibentuknya BNSP melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. BNSP bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden untuk melakukan sertifikasi kompetensi kerja. Berdasakan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004, guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja, BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Tujuan dari pemberian sertifikasi kompetensi kerja adalah untuk membantu secara formal para profesi, industri/organisasi untuk memastikan dan memelihara kompetensi para tenaga kerja yang kompeten, serta membantu meyakinkan kliennya bahwa industri menggunakan tenaga yang kompeten.
BNSP dan LSP pada dasarnya membantu industri/ pemakai jasa untuk meyakinkan bahwa mereka menggunakan tenaga kompeten serta penyiapan tenaga kerja Indonesia yang kompetitif menghadapi persaingan di pasar kerja global.
Maka dari itu, berbagai kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan kualitas SDM perlu dioptimalkan dalam pelaksanaannya. Mengingat pemberlakuan arus bebas tenaga kerja di tahun 2015 tidak akan lama lagi. Adapun berbagai kebijakan tersebut, diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional;
d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional
Berbagai kebijakan tesebut harus dapat dioptimalkan dalam pelaksanaannya seperti pemberian latihan kerja, sebaimana keterangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, hanya 5 (lima) persen karyawan di Indonesia yang mendapatkan pelatihan kerja. Hal ini tentunya turut mempengaruhi kualitas SDM dan keterampilan dari tenaga kerja nasional. Selain itu UU Tenaga Kerja telah mengamanatkan pembentukan BNSP yang dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) guna mempercepat pelaksanaan tugas BNSP dalam memberikan sertifikasi kompetensi di berbagai sektor. Hal ini harus mendapatkan perhatian yang serius bagi pemerintah maupun swasta. Hal ini merupakan tanggungjawab bersama pemerintah maupun swasta. Pengusaha memiliki kepentingan dalam meingkatkan keterampilan karyawannya sehingga kinerja karyawan dapat lebih terampil dan profesinal dalam menghasilkan barang dan jasa.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merupakan Kementerian yang bertugas mewakili pemerintah dalam mewujudkan tenaga kerja dan masyarakat transmigrasi yang produktif, kompetitif dan sejahtera. Pelatihan Keterampilan Kerja merupakan program dari Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Permasalahan Bidang Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Program tersebut berkaitan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM), akan tetapi program tersebut belum mendapat posisi penting dalam pembangunan ketenagakerjaan nasional karena terdapat berbagai kendala. Adapun berbagai kendala dalam pemberian pelatihan maupun keterampilan kerja di Indonesia, sebagai berikut:
a. Adanya duplikasi pelaksanaan pelatihan keterampilan kerja antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
b. Belum adanya koordinasi yang integratif antara Kementerian/ Lembaga dan swasta yang melaksanakan pelatihan dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
c. Belum kuatnya peraturan perundang-undangan tentang pelatihan yang dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi karena hanya setingkat Peraturan Pemerintah (PP);
d. Belum memadainya anggaran pelatihan keterampilan kerja pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
e. Belum dijadikannya spesifikasi potensi wilayah sebagai dasar pelaksanaan pelatihan keterampilan kerja pada Balai Latihan Kerja Unit Pleksana Teknis Pusat (BLK UPTP) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang menyangkut kejuruan, peralatan dan bahan, instruktur, dan proporsi anggaran;
f. Sangat sedikitnya jumlah lulusan pelatihan keterampilan kerja yang dilaksanakan oleh BLK UPTP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bila dibandingkan dengan pencari kerja baru yang perlu dilatih;
g. Belum dapat diketahuinya dengan pasti berapa persen lulusan pelatihan keterampilan kerja BLK UPTP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dapat bekerja dan/atau berusaha mandiri;
h. Kurangnya skill dan attitude kebanyakan lulusan BLK UPTP Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sehingga belum profesional dan belum dapat menjadi human capital;
i. Belum adanya keselarasan antara program pelatihan keterampilan kerja dengan program peningkatan produktivitas
j. Belum jelasnya konsep pelaksanaan pemagangan;
k. Terjadinya pelemahan fungsi lembaga pengembangan produktifitas daerah. Kebutuhan pelayanan pengembangan produktifitas di daerah masih relatif besar, namun tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas pelayanan (lembaga, instruktur, metodologi);
l. Lumpuhnya sebagian besar BLK UPTD;
m. Masih banyaknya perusahaan yang belum menganggap pelatihan keterampilan kerja bagi pekerja sebagai bagian dari investasi;
n. Masih banyaknya angkatan kerja yang belum memandang pelatihan keterampilan kerja sebagai kebutuhan;
o. Belum diakuinya secara internasional sertifikat kompetensi nasional;
Maka dari itu peran pemerintah maupun swasta sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, seperti sinergi antar-lembaga, minimnya anggaran, kurangnya kesadaran angkatan kerja mengenai pentingnya keterampilan kerja, dan infrastruktur yang kurang memadai. Hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan swasta sehingga permasalahan tersebut dapat diselesaikan terutama pelatihan keterampilan kerja harus dapat dimaksimalkan dan menjadi harmonis antara sektor dan lembaga agar berbagai kendala dan hambatan tersebut dapat teratasi dalam mempersiapkan tenaga kerja terampil menghadapi berlakunya arus bebas tenaga kerja terampil 2015 .

KESIMPULAN
Sejarah Ketenagakerjaan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni jaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi. Perbudakan adalah suatu peristiwa di mana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain. Sebagian besar penduduk di negaranegara berkembang berada dalam keadaan yang ditandai dengan “kemiskinan massal”. Pertumbuhan penduduk yang dialami oleh negara-negara berkembang sangat cepat laju pertumbuhannya. Sehingga hal tersebut merupakan faktor dinamika yang paling penting, sebab faktor penduduk mempengaruhi serta menentukan arah perkembangan suatu negara di masa yang akan datang.
Pertumbuhan penduduk merupakan masalah pokok dalam pembangunan ekonomi. Setelah adanya perkembangan arus globalisasi. Maka perubahan yang terjadi terhadap mobilitas tenaga kerja yang tanpa batas, tentu akan membuat kesempatan kerja bagi angkatan kerja semakin luas dengan cakupan wi¬layah yang luas pula. Tenaga kerja bisa bebas me¬milih jenis pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan dan perusahaan juga dapat memilih te¬naga kerja yang sesuai dengan spesifikasinya.
Jadi ada beberpa poin penting untuk menambah dayasaing tenaga kerja Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut : Kesehatan. Merupakan komponen sumber daya manusia yang paling mendasar. Hal ini di¬sebabkan oleh suatu pemikiran bahwa tidak akan ada gunanya atau kurang berguna pendidikan se¬seorang apabila dalam keadaan yang tidak sehat. Pendidikan.  Hasil penilitian memperlihatkan adanya hubungan positif antara derajat pendidikan den¬gan kehidupan ekonomi, dimana semakin tinggi derajat pendidikan seseorang maka semakin ting¬gi pula derajat kehidupan ekonominya. Komunikasi. Adalah hal yang penting bagi kehidupan. Segala sesuatu dimulai dari komuni¬kasi. Komunikasi yang baik akan meningkatkan produktivitas dan komunikasi yang buruk akan mengurangi kemauan seseorang untuk bekerja sama.

Komentar

Postingan Populer